Minggu, 18 September 2016

RESISTENSI DAERAH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA

RESISTENSI DAERAH
TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA

Helmuth Y. Bunu
Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, e-mail: hyb047@yahoo.co.id HP: 0811520140

Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan: 1)  bentuk-bentuk resistensi daerah, 2) faktor-faktor yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi, 3) dampak resistensi, dan 4) strategi mengatasi resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif explanatory.  Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Maret—Mei 2016. Informan kunci  meliputi: 1) Sekretaris Daerah Provinsi, 2) Ketua Komisi Anggaran DPRD, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi. Informan kunci di luar pemerintah untuk memperoleh experts judgment  meliputi: 1) LSM di bidang kependudukan (LSM Pandohop Tabela), 2) Dr. Sidiq Usop, M.Si. (Ahli kebijakan publik, dan ahli kependudukan di Universitas Palangkaraya), 3) Dr. Dr. Muhammad Busro (ahli Sosiologi Antropologi). Data dikumpulkan dengan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan telaah dokumentasi dan kepustakaan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan: 1) bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program KKBPK diawali dengan tidak mencantumkan program KKBPK dalam visi maupun misi Pemerintah daerah, sehingga program KKBPK tidak menjadi prioritas dan jumlah anggaran menjadi sangat minim bahkan jauh di bawah 1% dari total APBD, 2) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi yaitu karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat skala prioritas pembangunan, serta kurangnya pemahaman kepala daerah terhadap prgram KKBPK yang bukan hanya alat kontrasepsi atau pembatasan jumlah anak, tetapi meliputi program pembangunan keluarga sehat dan sejahtera 3) dampak resistensinya adalah tidak ada pengangkatan tenaga PNS atau kontrak baru yang ditugaskan untuk mengurusi KKBPK bahkan PNS PLKB banyak yang ditugaskan di tempat lain atau diangkat dalam jabatan struktural di luar BPP-KB, dampak berikutnya tidak semua masyarakat dapat menerima fasilitas program KKBPK baik dalam bentuk penyuluhan, persuasi, bantuan layanan, pemberian alat kontrasepsi, dampak akhirnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan keluarga menurun, dan 4) strategi mengatasi resistensi daerah meliputi perlu adanya advokasi yang intensif dari semua kalangan khususnya kepada Kepala Daerah sehingga pemahaman Kepala Daerah terhadap program KKBPK menjadi terbuka, dan perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah sehingga program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.  

Kata kunci: Resistensi, pemerintah daerah, keluarga berencana

A. Pendahuluan
            Berbagai permasalahan di daerah berkaitan dengan pelaksanaan program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK)bersifat sangat kompleks, karena permasalahan itu tidak hanya menyangkut rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program KKBPK, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya perhatian Pemerintah Daerah terhadap program nasional (program KKBPK) yang dibuktikan dengan rendahnya anggaran di daerah yang dialokasikan untuk pelaksanaan program KKBPK, minimnya kegiatan sosialisasi, layanan sosial dan kampanye program KKBPK, rendahnya kehadiran Pemerintah Daerah dalam mengurangi tingginya angka kelahiran,  sedikitnya sumber daya daerah yang dikhususkan untuk program KKBPK, terbatasnya jumlah sumber daya manusia terampil yang secara khusus ditugaskan untuk menangani program KKBPK, dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program KKBPK.[1]
Seluruh permasalahan itu dapat ditipologikan menjadi delapan klasifikasi besar yaitu: 1) rendahnya alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan untuk mendukung pelaksanaan program KKBPK, yang dibuktikan dengan belum adanya kebijakan alokasi anggaran untuk pengendalian jumlah perkembangan penduduk yang tinggi, 2) Pola hubungan yang tidak seimbang antar-elemen pemerintah daerah, yang dibuktikan oleh rendahnya keberpihakan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) terhadap pelaksanaan program KKBPK, 3) rendahnya keterlibatan atau kepedulian lembaga non-pemerintah/organisasi sosial kemasyarakatan (LSM, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, dharmawanita) terhadap pelaksaan program KKBPK, 4) rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KKBPK oleh lembaga pemerintah, 5) penolakan halus terhadap pelaksanaan program KKBPK baik yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah (BKKBN) maupun yang diprakarsai oleh lembaga non-pemerintah (LSM di bidang kependudukan, Posyandu, Pos pemberdayaan keluarga/Posdaya, PKK dan lainnya), 6) rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak diikuti dengan penerimaan atau perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya sumber daya manusia di bidang KKBPK, 7) rendahnya minat para peneliti di bidang multi ilmu/disiplin untuk melakukan penelitian dan pencegahan terhadap tingginya angka kematian ibu dan anak, dan 8) rendahnya sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi terhadap pelaksanaan program KKBPK sehingga masyarakat kurang sadar untuk mengikuti program KKBPK secara mandiri, tanpa harus menunggu uluran tangan dari pemerintah.[2]
Dengan membaca kedelapan permasalah di atas, lingkungan politik mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap proses pelaksanaan program KKBPK. Bahkan hal ini sering kali dijadikan sebagai instrumen politik oleh para aktor politik maupun Pemerintah Daerah untuk menerima atau menolak program politik kependudukan yang diagendakan Pemerintah Pusat.
Myron Weiner mengenalkan istilah “political demography” sebagai sebuah pendekatan untuk melihat bagaimana ukuran, komposisi dan distribusi penduduk terkait dengan pemerintah dan politik. Faktor-faktor demografi, seperti besarnya penduduk, komposisi dan distribusi penduduk dapat mempengaruhi pemerintah dan politik, seperti kinerja pemerintah atau distribusi kekuasaan. Sebaliknya, politik atau kebijakan yang dibuat oleh negara dapat juga menjadi determinan dari perubahan-perubahan kependudukan, seperti besarnya penduduk, komposisi penduduk dan distribusi penduduk.[3]
Riwanto Tirtosudarmo[4] menjelaskan bahwa kekuatan pimpinan era penjajahan Belanda saat melakukan pemerataan penduduk melalui program kolonialisasi/transmigrasi yang sesungguhnya program tersebut sangat berorientasi industrialisasi, dapat mengarahkan kebijakan program transmigrasi, yang menurut perhitungan rasional tidak terlalu menguntungkan dan tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan penduduk Jawa. Program ini kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan Orde Baru. Di sini, demografi politik diperlihatkan. Meski kebijakan transmigrasi tidak rasional secara ekonomis, namun program tersebut tetap dijalankan karena penguasa negeri lebih mengutamakannya untuk menuju Indonesia yang terintegrasi, terasimilasi, dan terkoneksi antarsuku. Ini yang disebut penulis sebagai kebijakan ideologis (ideological policy). Namun, kebijakan ini juga tidak dapat menunjukkan keberhasilan. Di era penguasa militer, transmigrasi diisukan sebagai alat untuk menjaga keamanan, terutama daerah terpencil dan perbatasan.[5]
Demikian juga saat zaman Orde Baru yang otoriter, ketika Soeharto berketetapan hati untuk mengadopsi kesepakatan global menurunkan laju pertumbuhan penduduk dunia melalui penyelenggaraan program keluarga berencana nasional secara intensif, termasuk menerapkan pendekatan intensif dan disinsentif, pemerintah tidak mengalami kendala apa-apa, karena tidak ada perlawanan yang muncul ke permukaan. Angka fertilitas 2,6 tidak beranjak selama 5 tahun terakhir era Orde Baru.[6]
Di sisi lain, Indonesia sejak 1998 telah berubah dari negara  otoriter yang sentralis ke negara demokratis yang desentralis. Perubahan tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan baik di pusat maupun di daerah. Banyaknya penolakan dari daerah terhadap program kependudukan yang dijadikan prioritas Pemerintah Pusat tidak sepenuhnya didukung oleh Pemerintah Daerah, baik dalam membuat kebijakan/regulasi maupun pada tataran praktik operasional pelaksanaan program KKBPK.[7]
Permasalahan di atas menuntun peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan “resistensi pemerintah terhadap program KKBPK. Resistensi tersebut dapat dimaknai dari berbagai segi, mulai penentuan kebijakan atau politik anggaran, hingga sampai pada implikasi pelaksanaan program KKBPK di tingkat pemerintah daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 2) faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 3) bagaimanakah dampak resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana? 4) bagaimanakah cara mengatasi resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana?

Landasan Teori
1. Konsep Politik Kependudukan Berbasis Keragaman dan Keindonesiaan
Isu kependudukan kini kembali menjadi prioritas pemerintah. Sebagaimana diketahui, setelah reformasi isu kependudukan seperti kehilangan gaungnya. Pertumbuhan penduduk pasca reformasi diyakini lebih tinggi dibandingkan era Orde Baru. Hal ini tentu akan berdampak pada berbagai sektor. Oleh karena itu, politik demografi harus menjadi isu strategis yang dilakukan pemerintah dan harus mendapatkan sambutan dari pemerintah daerah.[8]
Isu kependudukan tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga perlu kembali diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu kependudukan yang jarang dibahas dan didiskusikan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan berdampak pada menurunnya minat Pemerintah Daerah dalam mendukung program pemerintah tersebut.
 Saat ini, perkembangan politik semakin oligarkis, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan atau keluarga[9] dan kebijakan pemerintah semakin didikte oleh kekuatan Pemerintah Pusat. Terbukti, kebijakan pemerintah telah menimbulkan berbagai ketidakharmonisan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,[10] yang apabila kebijakan itu menyangkut kependudukan, akan langsung berdampak pada menurunkan kualitas hidup penduduk Indonesia[11].
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan memiliki keragaman sosial-budaya yang tinggi memang seharusnya menjadi pertanyaan kita bersama bagaimanakah bangun politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil dan makmur.[12] 
            Politik Kependudukan yang berbasis keragaman dan keindonesiaan sangat terkait dengan realitas sosial-kebudayaan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk. Indonesia sebagai negara kesatuan republik Indonesia merupakan sebuah format hubungan antara pusat dan daerah serta antara daerah-daerah yang memungkinkan ter-ejawantahkannya motto Negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika (Tirtosudarmo, 2014).   
Adalah Cliffod Geertz dalam salah satu tulisannya mengatakan: “Archipelagic in geography, eclectic in civilization, and heterogonous in culture, Indonesia flourishes when it accepts and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and suppresses it..[13]    
Sedikitnya ada dua karakteristik utama dari demografi Indonesia: Pertama, selain jumlahnya yang besar dan tetap bertumbuh, memiliki penyebaran yang tidak merata secara geografis. Paradigma pembangunan yang menyerahkan dinamika ekonomi pada pasar (fundamentalisme pasar) dan strategi ekonomi yang beriorientasi ke darat (land based.economic strategy) padahal realitas geografis Indonesia seharusnya mendorong dikembangkannya strategi yang berorientasi ke laut (maritime based economic strategy) merupakan penyebab mengapa konsentrasi penduduk terpusat di Jawa.[14]  
            Kedua, jika pada masa lalu politik kependudukan yang dianut berbasis pada dominasi negara terhadap warganegara, sehingga yang terjadi adalah strategi dan program yang berisi rekayasa-rekayasa demografi (demographic engineering) yang mengandaikan pasifnya warganegara; di masa depan politik kependudukan harus dibangun dengan asumsi bahwa pemerintah daerah dan penduduk yang ada di dalamnya  adalah warganegara yang aktif berpartisipasi dalam strategi dan program kependudukan. Secara retorik, perubahan dalam paradigma politik kependudukan harus dilakukan, dari “rekayasa demografi” oleh pemerintah pusat menjadi politik demografi yang berbasis pemerintah daerah.[15] 
Secara lebih kongkrit strategi dan progam kependudukan yang berbasis keragaman dan keindonesiaan di tingkat pemerintah daerah, perlu dikedepankan oleh pemangku kepentingan di pusat dan daerah, sehingga ada gayung bersambut, antara kebijakan kependudukan dari pemerintah pusat yang diaminkan oleh pemerintah daerah, baik pada tataran kebijakan, penyiapan sumber pendanaan, dan pelaksanaan program baik yang bersifat nasional yang harus dilaksanakan oleh daerah, maupun program pemerintah yang harus didukung oleh pemerintah daerah.[16]

2. Resistensi Daerah terhadap Program Kependudukan dari Pusat
Haynes[17] berusaha memahami gerakan politik negara bagian. Heynes mendapatkan pemahaman bahwa gerakan di Negara bagian lebih disebabkan oleh ketat dan kakunya pengendalian politik dan ekonomi dari negara. Negera telah memarginalisasikan peran Negara bagian dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan proses menikmati atas pelaksanaan pembangunan oleh Negara.            
Ledakan gerakan politik melalui usaha kolektif di Negara bagian yang semuanya didalangi oleh kelompok aksi, berusaha untuk menyuarakan dan mengejar apa yang menjadi tujuan mereka, yaitu memperoleh perubahan yang menguntungkan bagi kepentingan kolektif. Gerakan mereka didasari oleh pemahaman mereka tentang apa yang menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi Negara bagiannya.
Menurut Haynes, perlawanan administratif yang sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan ke depan. Negara tidak akan lagi secara sesuka hati atau sekehendaknya melakukan program pembangunan yang sifatnya top down.
Haynes mempunyai keyakinan di mana perlawanan pemerintah daerah (Negara bagian) hadir dengan sejumlah yang terus bertambah besar, maka ada potensi yang lebih besar bagi perubahan politik kebijakan  pembangunan daripada yang tidak ada gejolak aksinya.     
            Eckstein[18] dalam buku Power and Popular Protes, mengemukan faktor-faktor yang mendorong pemerintah daerah melakukan perlawanan adalah karena rendahnya distribusi kekuasaan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan yang menimbulkan perbedaan kepentingan di antara pemerintah daerah yang berbeda dalam negara.
Scott berpendapat bahwa pemerintah daerah melakukan perlawanan terhadap dominasi yang menekan mereka adalah merupakan suatu gerakan menolak hegemoni.[19] Selanjutnya, Scott melihat pemerintah daerah dalam melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara selalu menggunakan senjata yang mereka miliki. Meskipun Negara dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat tidak dapat menguasai pikiran dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah daerah.[20] Dalam hal ini, Scott menjelaskan bahwa dalam perlawanan ada yang bersifat sungguh-sungguh dan ada yang bersifat insidental.[21] Scott juga menjelaskan bahwa resistence adalah semua tindakan oleh para pemerintah daerah itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan pemerintah.[22]  
Menurut  Eric Hoffer penolakan oleh pemeritah daerah terhadap program hegemoni dicirikan oleh kecenderugan untuk beraksi.[23] Hal itu terjadi karena mereka tersingkir dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan. Olson yang mengatakan bahwa, aksi pemerintah daerah dalam menolak hegemoni pemerintah pusat sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat program bagi  pemerintah daerah.[24]
Gurr mengembangkan suatu teori umum mengenai gerakan politik yang didasarkan atas teori psikologi yang didefinisikan sebagai, semua serangan dalam suatu komunitas politik terhadap rezim politik, maupun para pejabat atau kebijakan-kebijakannya.[25] Menurut asumsi Gurr semua fenomena di atas termasuk aksi menolak kebijakan pemerintah pusat bersar dari pikiran para pejabat di daerah.[26]  Ketidakpuasan pemerintah daerah yaitu ketidaksesuaian antara  harapan dan kemampan.[27]
Sementara itu, menurut Salert[28] jangan meremehkan teori psikologi dan jangan terlalu melebihkan teori pilihan rasional dalam memandang aksi penolakan terhadap program pemerintah pusat.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang  akan   digunakan adalah jenis  penelitian deskriptif explanatory  yaitu penelitian yang  menjelaskan atau mendeskripsikan konsep atau gabungan antara beberapa konsep secara mendetail.[29] Sedangkan  menurut Faisal[30]  explanatory  research ditujukan untuk menemukan dan mengembangkan teori sehingga hasilnya dapat  menjelaskan terjadi sesuatu gejala atau kenyataan sosial tertentu.
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian yaitu di Kantor Gubernur, sekretaris daerah Provinsi, BPS Provinsi, dan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Waktu penelitian antara bulan Maret hingga Juli 2016.
Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan adalah: 1) Data Primer. Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung tanpa perantara orang atau lembaga lain sebagai pihak ketiga. Data primer ini diperoleh dengan melakukan wawancara kepada responden. Jenis data primer yang hendak digali dalam penelitian ini yaitu: bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program KKBPK, faktor-faktor yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi daerah terhadap program KKBPK, dampak resistensi daerah terhadap program KKBPK, dan cara mengatasi resistensi daerah terhadap program KKBPK. 2) Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui orang lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dipecahkan. Data sekunder ini diperoleh melalui cara studi documenter yaitu mengumpulkan dan mempelajari dokumen organisasi yang terkait dengan tema penelitian ini, seperti arsip-arsip BKKBN pusat, BPP-KB di daerah, dan dinas kependudukan di daerah.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah: 1) Sekretaris Daerah Provinsi  Kalimantan Tengah, 2) Kepala BPP-KB Kabupaten Katingan, 3) Kepala Bappeda Kabupaten Katingan, 4) Kepala BPP-KB Kabupaten Kapuas, 5) Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas.
Adapun informan kunci di luar pemerintah untuk memperoleh experts judgment  meliputi: 1) LSM di bidang kependudukan, 2) Dr. Sidiq Usop, M.Si. (Ahli kebijakan puslik, dan ahli kependudukan di Universitas Palangkaraya), 3) Dr. Dr. Muhammad Busro (ahli Sosiologi Antropologi)
            Informan pendukung di sini adalah informan yang akan mensupport data pendukung dalam rangka penarikan kesimpulan yang meliputi: masyarakat peserta KB , dan pihak lain yang relevan.
Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) observasi partisipatif yaitu melakukan penelitian dengan pengamatan langsung dengan cara mendekati subyek dan objek yang akan diteliti, 2) wawancara Mendalam dilakukan dengan teknik snowballing terhadap informan kunci dan informan pendukung, 2) telaah dokumentasi dan kepustakaan  dengan cara mengkaji buku-buku bacaan, dokumen-dokumen, peraturan–peraturan dan ketentuan undang-undang, serta kebijaksanaan–kebijaksanaan yang berkaitan program KKBPK.
Metode analisis yang digunakan adalah: (1) analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan secara jelas karakteristik data penelitian dan (2) analisis kualitatif, dengan empat tahap kegiatan, mulai dari pengumpulan data, reduksi atau penyaringan data, klasifikasi data, dan penarikan kesimpulan.[31]

HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Persepsi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terhadap Program KKBPK
           
Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² (atau 1,2 kali Pulau Jawa 126.700 km2), memiliki populasi 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan dengan kepadatan sekitar 15 jiwa per Km2. Kalteng mempunyai 13 kabupaten dan 1 kota, , 107 Kecamatan, 1.218 desa, dan 116 kelurahan.
Gubernur saat ini yaitu Sugianto Sabran dan wakil gubernur Said Ismail. Visi yang diemban yaitu Kalteng Maju, Mandiri & Adil Untuk Kesejahteraan Segenap Masyarakat Menuju Kalteng Berkah (Bermartabat, Religius Kuat, Amanah Dan Harmonis)”.
Misi yang diemban yaitu: 1) pemantapan tata ruang, 2) pengelolaan infrastruktur, 3) pengelolaan sumber daya air, pesisir & pantai, 4) pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi penanggulangan kemiskinan, 5) peningkatan bidang perekonomian masyarakat menuju Kalteng berkah, 6) pemantapan tata kelola pemerintah daerah, 7) pendidikan, kesehatan & pariwisata, 8) pengelolaan lingkungan hidup & sumber daya alam, dan 9) pengelolaan pendapatan daerah.
            Membaca misi yang diemban, ternyata tidak ada satu kata pun yang berkaitan dengan KB, hanya ada kata kesehatan dengan uraian yaitu a) peningkatan kualitas Sarana dan Prasarana kesehatan termasuk peningkatan kualifikasi rumah sakit yang ada di Kalimantan Tengah, b) peningkatan derajat kesehatan masyarakat & pemberantasan narkoba, dan c) peningkatan kualifikasi Dokter dan Paramedis. Dari tiga uraian di atas, juga tidak ada satu kata pun yang menyinggung KKBPK.
            Di kalimantan Tengah, urusan KKBPK diserahkan kepada Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Keluarga Berencana (BPPA_KB) yang beralamat di
Jl. Brigjen Katamso Telp. (0536) 323984, 3221227
.
Tabel 1
Alokasi anggaran BPPA-KB Kalimantan Tengah
Uraian
Alokasi Anggaran (Rp)
% dari APBD
APBD
4.235.177.751.130,00

Anggaran BPPA-KB
14.430.347.117,10
0.34
Anggaran Khusus untuk kegiatan KKBPK
235.000.000,00
0,0055
              Sumber: Bapeda Kalimantan Tengah 2016
Adalah suatu hal yang sangat mengejutkan, ketika calon Gubernur pada saat kampanye, dan hingga yang bersangkutan menjabat Gubernur menyatakan dengan terang-terangan tidak setuju dengan KB. “Kalau saya nikah, maka saya akan punya anak 12.” Bahkan secara terang-terangan gubernur mengatakan “Gubernur tak ingin ada Kampung KB di Kalteng.”[32] Pasalnya, Kalteng sangat luas yakni 1,2 Pulau Jawa, sementara jumlah penduduknya  masih kurang.
Saat ini, Kalteng belum memerlukan program Keluarga Berencana (KB) atau kampung KB. Saya tidak ingin di Kalteng ada kampung KB dan saya tidak ingin ada Keluarga Berencana di Kalteng. Kalau di daerah  lain yang penduduknya padat silahkan pakai KB. Kalau di Kalteng, lahannya masih luas, tanahnya subur, dan provinsi Kalteng adalah Provinsi yang kaya rasa sumber daya alamnya, namun yang terpenting kita jaga pertumbuhan  ekonominya.
Hal ini akan berpengaruh terhadap program KKBPK di Provinsi Kalimantan Tengah dan berdampak pada besarnya dana APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga).
            Penyataan Gubernur pada dasarnya juga tidak berbeda jauh dengan pernyataan Sekda Provinsi Kalimantan Tengah Dr. Drs. Sion Djarian, SH, MH yang mengatakan bahwa, [33] “Urusan KB ada pada kab/kota, sedangkan di level Prov. Ditangani oleh BKKBN Perwakilan – Instansi Vertikal. Karena BKKBN ini merupakan perwakilan pusat dan diatur pusat, sehingga kurang menjadi perhatian Pemda Propinsi khususnya tentang PLKB. Dalam kaitan dengan prioritas anggaran, posisi program KKBPK berada pada prioritas terakhir.” 
Berkaitan dengan strategi yang dilakukan Sekda untuk menambah sumberdaya di bidang KB, sesungguhnya:
Tidak ada strategi khusus, bahkan pengangkatan khusus untuk Penyuluh Lapangan (PLKB) tidak pernah ada. jumlah penyuluh dibandingkan  dengan jumlah kecamatan, jumlah desa dan pasangan usia subur. Itu memang diakui sangat tidak sebanding, mungkin di beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah.”[34]
Berkaitan dengan anggaran yang digunakan untuk melaksanakan program KKBPK, Sekda Provinsi Kalteng mengatakan bahwa:
Ini masalah anggaran...Saya pernah jadi kepala Dinas Kependudukan dan KB di Kabupaten Seruyan, saya melaksanakan kegiatan dengan dana dari BKKBN pusat saja sangat tidak sebanding dengan besarnya kegiatan. Ada juga dari APBD, tetapi dari APBD sangat sedikit”[35]
            Berkaitan dengan pelaksanaan program KKBPK yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan-Anak, dan KB, Sekda Provinsi Kalimantan Tengah berpendapat bahwa:
“Sepertinya BKKBN ini tumpang tindih dengan Dinas Kesehatan, dalam operasionalnya, BKKBN juga selalu menggunakan tenaga kesehatan, kenapa tidak di Dinas Kesehatan saja anggarannya? Sangat efektif dan efisien apabila urusan KB menjadi salah satu bidang pada Dinas Kesehatan”[36]
Berkaitan dengan Tipe SKPD Badan Pemberdayaan Perempuan-Anak, dan KB di Kalimantan Tengah yang paling pas menurut  Sekda Provinsi Kalimantan Tengah adalah: “Tipe A lah  karena kesadaran hidup bahagia dan sejahtera cukup tinggi tapi tidak berimbang dengan anggaran .”[37]
            Pemahaman Gubernur yang seperti itu, sebenarnya bukan salah gubernur semata, tetapi, hanya karena kurangnya advokasi pihak-pihak yang berkaitan dengan KB di dalamnya termasuk kepala Badan PPA-KB Provinsi Kalimantan Tengah, dan seluruh Kepala SKPD KB di daerah. Menurut Ahli Sosiologi Antropologi Muhammad Busro,
“Gubernur saat ini belum memahami filosofi KB yang bukan hanya alat kontrasepsi, atau pembatasan jumlah anak. Gubernur sejak kecil hingga saat ini selalu dihadapkan pada keberadaan sumber daya alam yang melimpah dengan jumlah penduduk Suku Dayak yang sangat sedikit, jadi ada benarnya juga mengatakan hal yang demikian. Namun, sesungguhnya Gubernur belum memahami bahwa program KKBPK variannya cukup banyak, yang seluruhnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga.”[38]
Hasil wawancara dengan Dr. Usop Sidik, M.Si. ahli sosiologi dan kebijakan publik Universitas Palangka Raya juga menegaskan bahwa:
“Benar, sumber daya alam di Kalimantan Tengah sangat banyak, sementara jumlah penduduk sangat sedikit. Tetapi Gubernur harus melihat realitas, dengan jumlah penduduk yang kurang dari 1 juta saja belum mampu meningkatkan kesejahteraan, apalagi kalau jumlah kelahiran tidak dibatasi, tentu tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun.”[39]
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa Gubernur perlu mendapat pemahaman yang utuh tentang berbagai program KKBPK di Kalteng, sehingga anggaran sebesar Rp235 juta yang dialokasikan untuk program KKBPK di Kalteng dapat ditingkatkan secara akselerasi. Besarnya dana untuk program KKBPK di tingkat Provinsi jauh lebih kecil dibandingkan dengan besarnya alokasi anggaran KB di kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah. 
Secara umum, jumlah kelahiran, laju pertumbuhan penduduk,  angka kematian ibu, angka kematian bayi, Jumlah akseptor aktif, Jumlah akseptor baru, jumlah anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana, dan pagu dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Jumlah kelahiran selama empat tahun (2010-2013) realtif stabil bergerak di antara angka 33 ribu hingga 34 ribu tetapi ada kecenderungan mengalami penurunan.  jumlah kelahiran tertinggi pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten barito Timur, dan jumlah kelahiran terendah pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten Seruyan.
            Laju pertumbuhan penduduk (LPP)di Kalimantan Tengah juga mengalami penurunan. Laju pertumbuhan penduduk di Kalimantan tengah dalam tiga tahun (2011-2014) selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun 2010/2011 laju pertumbuhan penduduk hanya 2,4 sementara pada tahun 2012-1013 mengalami penurunan menjadi 2,36 dan pada tahun 2013/2014 turun lagi menjadi 2,31. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi pada tahun 2013/2014 yaitu Kabupaten Seruyan dan laju pertumbuhan penduduk terendah pada tahun 2013/2014  yaitu Kabupaten Pulang Pisau yang hanya 0.6.
Angka kematian ibu di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014 bahkan ada kecenderungan naik. Angka kematian ibu di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian ibu hanya 62 orang, tahun 2013 naik menjadi 73 orang, dan pada tahun 2014 naik menjadi 101 orang. Angka kematian ibu tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 20 orang dan angka kematian ibu terendah pada tahun 2014  yaitu Kabupaten Barito Timur yang hanya  2 orang.
Angka kematian bayi di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014 bahkan ada kecenderungan turun. Angka kematian bayi di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian bayi hanya 602 anak, tahun 2013 naik menjadi 493 anak, dan pada tahun 2014 naik menjadi 313 anak. Angka kematian bayi tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 50 anak dan angka kematian bayi terendah pada tahun 2014  yaitu Kabupaten Palang Pisau yang hanya  7 anak.
            Jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap, hal ini menunjukkan pasangan usia subur yang baru relatif tidak menjadi akseptor aktif. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota
2010
2011
2012
2013
2014
Kotawaringin Barat
33579
36133
35924
24693
33481
Kotawaringin Timur
52636
57014
61294
55941
58781
Kapuas
54894
56141
59044
65844
65388
Barito Selatan
19211
20214
23683
22753
21153
Barito Utara
20087
19364
18497
25723
19681
Sukamara
8610
10867
8984
10477
8589
Lamandau
11283
13585
9660
9651
10094
Seruyan
19301
16822
18016
17822
18631
Katingan
23079
18933
27323
24493
26743
Pulang Pisau
14942
17941
8971
12231
14369
Gunung Mas
14621
18816
16571
16727
16966
Barito Timur
15372
16012
18716
16512
17219
Murung Raya
16910
12013
13332
16093
12766
Palangka Raya
26308
27025
35388
36536
29461
KALIMANTAN TENGAH
330833
340880
355403
355496
353322
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah dalam lima tahun (2010-2014) selalu stagnan, yaitu berkisar 330 ribu s.d. 350 ribu. Pada tahun 2014 jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah sebanyak 353.322 orang. Jumlah akseptor aktif yang paling tinggi yaitu di Kabupaten kapuas, yaitu sebanyak 65.388 pasangan usia subur, dan jumlah akseptor aktif yang paling rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu sebanyak 8.589 pasangan usia subur.
Jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 3
Jumlah Akseptor Baru Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota
2010
2011
2012
2013
2014
Kotawaringin Barat
8275
9273
9124
7870
6137
Kotawaringin Timur
13227
13697
13706
13485
11281
Kapuas
13449
18715
19417
16410
12870
Barito Selatan
3932
4847
4888
3819
1984
Barito Utara
2797
3369
4114
4307
2855
Sukamara
2321
2330
2188
2446
1851
Lamandau
1697
2506
4091
3479
2137
Seruyan
5326
5775
5371
5290
2795
Katingan
5124
6230
6391
10029
4402
Pulang Pisau
5634
3593
4516
3270
2526
Gunung Mas
4723
7652
7910
7556
4748
Barito Timur
3139
3941
3506
2986
2867
Murung Raya
4251
3929
3685
4660
4311
Palangka Raya
5814
6881
8596
8512
8767
KALIMANTAN TENGAH
79709
92738
97503
94119
69531
Sumber : Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah dalam lima tahun (2010-2014) selalu fluktuatif. Pada tahun 2014 jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah sebanyak 69.531 pasangan. Jumlah akseptor baru yang paling tinggi yaitu di Kabupaten Kapuas, yaitu sebanyak 12.870 pasangan usia subur, dan jumlah akseptor baru yang paling rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu sebanyak 1.851 pasangan usia subur.
Berkaitan dengan besar pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana di Kalimantan Tengah pada tahun 2016 relatif sangat kecil, karena dari 14 kabupaten kota, hanya ada dua kab yang mendapat alokasi anggaran di atas satu milyar yaitu Kab Barito Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kab Pulang Pisau yaitu sebesar Rp1.253.040.000,00. Secara total, jumlah besar pagu di Kalimantan Tengah hanya Rp9.142.000,00. Kabupaten yang mendapat alokasi dana terbesar yaitu Kabupaten Barito Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kabupaten yang mendapat alokasi dana terkecil yaitu kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Murung Raya yaitu masing-masing sebesar 231.560.000,00.
 Berkaitan dengan besar pagu dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah pada tahun 2016 relatif sangat kecil, karena hanya sebesar Rp3.623.940.000,00. Kabupaten yang mendapat alokasi dana dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) pada tahun 2016  yang terbesar yaitu Kabupaten Seruyan sebesar Rp538.200.000,00 dan Kabupaten yang mendapat alokasi dana terkecil yaitu kabupaten Murung Raya yaitu sebesar Rp69.150.000,00.
Bebagai bentuk sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KKBPK sudah sangat variatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Jenis-jenis sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KKBPK
No
Uraian
1
Pemetaan Urusan Bidang KKBPK di Kab/Kota (UU.23 thn 2014)
2
Fasilitasi P2D PKB/PLKB (UU.23 thn 2014)
3
Review Pemetaan Urusan Bidang KKBPK dan P2D PKB/PLKB (UU.23 thn 2014)
4
Pengembangan Model-model Program KKBPK melalui Orientasi Program KKBPK di Kampung KB
5
Penyusunan analisis parameter dan profil penduduk kewilayahan Tk. Kab/Kota
6
Sarasehan Pengendalian Penduduk bagi Pengelola dan Pelaksana Program KKBPK
7
Peningkatan Peran Mitra ( LSOM,SOM DAN PT )
8
Penyediaan data kependudukan melalui Digital Signale
9
Forum/Pertemuan Penyerasian Kebijakan Pengendalian Penduduk bersama Mitra Kerja
10
Penyusunan Grand Design Kependudukan tingkat Kabupaten/Kota
11
Kerjasama Pendidikan Kependudukan melalui KKN Tematik
12
Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial TNI/POLRI Tk. Provinsi
13
Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial KB-KES-PKK Tk. Provinsi
14
Pembinaan Program KKBPK
15
Sosialisasi Standarisasi Pelayanan KB (UU 23 thn 2014)
16
Peningkatan Pelayanan KB di Kampung KB
17
Sosialisasi kebijakan strategi pembinaan ketahanan keluarga (BKB, BKR, BKL dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
18
Sosialisasi materi dan informasi pembinaan ketahanan keluarga (BKB, BKR, BKL, dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
19
Orientasi Ketahanan Keluarga bagi kader BKB, BKR, BKL dan UPPKS Tk Kab./Kota
20
Sosialisasi menjadi Orang tua hebat bagi Pengelola dan Mitra Kerja
21
Sosialisasi Mnjadi Orang tua hebat bagi Kader/Anggota Posyandu, BKB di Provinsi
22
GenRe Ceria melalui Seni Budaya Tradisional bagi Remaja Tk. Provinsi
23
Fasilitasi pembentukan PPKS Tk Kab/Kota (1 Kecamatan Percontohan di setiap Kabupaten/Kota)
24
Sosialisasi Optimalisasi Fungsi Balai Penyuluhan dalam Pengembangan dan Pembinaan PPKS
25
Sosialisasi BKB Holistik Integratif
26
Dukungan Operasioal Pembinaan Kelompok BKB Holistik Integratif
27
Penguatan dan Pembinaan BKB melalui Peringatan Hari Keluarga Nasional
28
Ajang Kreatifitas Remaja Tk Provinsi
29
GenRe Ceria melalui Seni Budaya bagi Remaja/Generasi Muda Tk Prov.
30
Sosialisasi Program GenRe bagi Remaja/Mahasiswa
31
Sosialisasi GenRe bagi Pengurus PIK R/M
32
Sosialisasi 8 Fungsi Keluarga
33
Pembinaan Program Lansia Tangguh
34
Advetorial Program KKBPK di Media
35
Cetakan untuk Pendudkung Program KKBPK
36
Peliputan Pers Program KKBPK
37
Sosialisasi dan intensifikasi MKJP Leaflet/Booklet/media adv. below the line tentang seluruh KKBPK
38
Advokasi dan KIE Pembangunan KKB kepada SKPD KB dan Mitra Kerja melalui berbagai media
39
Sosialisasi Advokasi dan KIE melalui Sewa Tempat Baliho dan Banner
40
Pengembangan Adv dan KIE below the Line" tentang keseluruhan Program KKBPK (Seluruh Bidang) di Prov. dan Kab./Kota
41
Penayangan Informasi KIE Program KKBPK Melalui Media Cetak dan Elektronik
42
Pengembangan KIE Kreatif Berbasis Komunitas dan Seni dan Budaya/Tradisional
43
Promosi Program KKBPK melalui Cetak Roll Banner dan Stiker
44
Promosi Program KKBPK melalui Cetak Umbul – umbul
45
advokasi dan KIE KKB melalui Mupen
46
Pertemuan lengkap IMP Tk. Desa/Kelurahan (Pertemuan PPKBD dan Sub PPKBD)
47
Fasilitasi Penggerakan Program KKBPK bagi penyuluh KB/Tim Operasional Tk. Desa (TKBK)
48
Pembinaan KKBPK bagi masyarakat oleh PPKBD/Kader Tk. Desa
49
Pertemuan Kemitraan KKBPK Tingkat Kecamatan (Rakor Kecamatan)
50
Pertemuan Kemitraan KKBP Tingkat Desa/Kelurahan (rakor Desa)
51
Promosi Program KKB melalui Harganas Tingkat Nasional
52
Sosialisasi Pembentukan Kampung KB Tk. Provinsi (Pilot Project Percontohan setiap kab/Kota)
53
Pembentukan Kampung KB Tk. Kab/Kota
54
Peningkatan Kapasitas Mitra Kerja dan Stakeholder Tk. Kab/Kota dalam Implementasi program KKBPK Lini lapangan
55
Sosialisasi Penguatan Program KKBPK melalui Kelembagaan, Program Sarana Prasarana, dan SDM di PRov dan Kab/Kota
Sumber: BKKBN Perwakilan Provinsi Kalimanatan Tengah
Berbagai bentuk sosialisasi, internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam mendorong program KKBPK meskipun variasi sudah sangat banyak, akan tetapi karena jumlah dana yang tersedia untuk masing-masing program relatif kecil, maka jumlah khalayak sasaran dalam setiap program menjadi relatif terbatas. Oleh karena itu, dampak ikutannya bagi peningkatan peserta akseptor aktif maupun akseptor baru belum signifikan.

2. Gambaran Persepsi Pemerintah Daaerah Kabupaten Kapuas terhadap Program KKBPK
            Kabupaten Kapuas dengan jumlah kecamatan sebanyak 17 Kecamatan,[40] 214 desa, dan 17 kelurahan, berpenduduk sebanyak 329.646 jiwa dengan klasifikasi 168.139 laki-laki dan 161.507 perempuan, dengan luas wilayah 14.999 km2 atau 1.499.900 ha dengan tingkat kepadatan penduduk 21,97 jiwa/km2 merupakan daerah dengan penduduk yang masih sangat jarang.[41]
Komoditi yang paling utama adalah padi, usaha perikanan laut, plywood, karet (crumb rubber), sabut kelapa dan anyaman rotan. Belum lagi industri meubeler, hasil kerajinan purun, perahu kayu, karet sirap ulin dan balok ulin. Sektor pertambangan juga cukup menjanjikan. Kabupaten ini kaya akan bahan tambang, intan, emas, batubara, mika, kaolin, batu kapur, pasir kuarsa, dan gambut.
            Bupati yang menjabat saat ini yaitu Ir. Ben Brahim S. Bahat, M.T dan wakil Bupati Ir. H. Muhajirin, MP (2013-2018). Visi yang diemban yaitu “Terwujudnya Kabupaten Kapuas yang lebih maju, sejahtera dan mandiri melalui pembangunan yang adil dan merata serta berkelanjutan.” Adapun misinya yaitu sebanyak 14 misi, namun tidak ada satu apa pun yang menyangkut KB. Misi yang paling mendekati yaitu Misi ke-10 yaitu Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan yang mudah, murah, adil dan merata serta pembangunan fasilitas kesehatan, penempatan tenaga kesehatan, penyediaan obat-obatan, dan memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat kurang mampu.[42]
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB:
Dukungan anggaran APBD dan DAK selalu kurang, sehingga program KKBPK menyesuaikan anggaran (program follow money). Dampaknya, belum seluruh desa bisa terjangkau program KKBPK, terutama daerah hulu dan pesisir.[43] 
Saat ini, dengan adanya berbagai pencerahan dan advokasi dari berbagai kalangan termasuk dari kepala Badan PP-KB, Bupati Kapuas Ben Bahat sering berbicara pentingnya perencanaan keluarga  sejahtera. Bupati menjelaskan: 
Keluarga yang bahagia dan sejahtera dapat terwujud manakala suami istri memiliki perencanaan yang matang  dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga. Oleh karena itu, program yang telah disusun oleh Badan PP-KB harus didorong untuk direalisasikan, sehingga ledakan kelahiran penduduk dapat dihindari dan kesejahteraan keluarga semakin meningkat pula.”[44]  
Program KKBPK dilakukan untuk penundaan usia perkawinan untuk wanita minimal 21 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun, anjuran untuk mempunyai  dua anak (2 anak cukup), dan pengaturan jarak kelahiran (minimal 3 tahun untuk pengembalian kesehatan rahim ibu),  maka akan berdampak pada tingkat pendidikan anak meningkat, minimal sampai tingkat SMA/sederajat, mutu  SDM meningkat, mampu mendapatkan pekerjaan layak atau menciptakan lapangan sendiri, dan pada akhirnya tingkat kesejahteraan anak meningkat.[45]
Selama ini, fokus pembangunan pada bidang fisik. Dengan pembangunan bidang fisik yang baik, maka masyarakat akan mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan komunikasi yang baik. Dampak lebih lanjut, perkembangan perekonomian di Kabupaten Kapuas menjadi lebih cepat. Akibatnya, pembangunan manusia dan pengangkatan SDM KB (penyuluh KB dan petugas Lapangan KB) menjadi terabaikan.[46]
Hingga saat ini, penyuluh KB di Kabupaten Kapuas hanya sebanyak 17 orang, dan petugas lapangan KB hanya 4 orang. Pada tahun 1994, jumlah penyuluh KB ada sekitar 90-an orang, tetapi di antara mereka ada yang pensiun, ada yang menjabat di jabatan struktural, ada yang pindah ke dinas (SKPD) lain, dan ada yang pindah daerah.[47]
Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PP-KB) pada tahun 2016 mendapatkan alokasi dana APBD sebagai berikut.
Tabel 5
Alokasi anggaran BPP-KB Kabupaten Kapuas
Uraian
Alokasi Anggaran (Rp)
% dari APBD
APBD
1.7 trilyun

Anggaran BPP-KB
2.909.060.000,00
0.000017
Anggaran Khusus untuk kegiatan KB
1.017.885.000,00
0.0000059
              Sumber: Bapeda Kabupaten Kapuas 2016
Berbagai program yang dilaksanakan oleh bagian KB pada Badan PP-KB pada tahun 2016, berdasarkan hasil penelitian yaitu meliputi: 1) Penyediaan layanan KB dan alat kontrasepsi bagi keluarga miskin, 2) pelayanan KIE (Komunikasi, informasi, dan Edukasi), 3) Pembinaan Keluarga Berencana, 4) Program Kesehatan Reproduksi Remaja, 5) pelayanan pemasangan kontrasepsi KB, 6) pengadaan kontrasepsi dan peralatan medis, 7) peningkatan perlindungan hak reproduksi individu, dan 8) peningkatan partisipasi pria alam KB dan Kesehatan Reproduksi.
Adapun, program yang sedang digalakkan di Kabupaten Kapuas adalah pencanangan Kampung KB di tiap-tiap kecamatan (1 kecamatan terdapat 1 kampung KB)
Mengingat Badan PP-KB mempunyai empat bidang dan 1 sekretaris, yaitu bidang Keluarga Berencana, bidang data dan informasi, bidang penggerakan masyarakat, dan Pemberdayaan perempuan dan anak,[48] maka dana sebesar  Rp2.909.060.000,00 bukan murni untuk bidang KB, tetapi juga untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Sehingga persentase nya pun akan menjadi setengahnya dari 0,012% (0,0056%).[49]
Hasil wawancara dengan Kabag Perencanaan Anggaran Badan Perencanaan Pembangunan (Pappeda) Daerah Kabupaten Kapuas Bp. Abdurrahman, menyebutkan bahwa, “Tiga perempat APBD terserap Dinas Pekerjaan Umum, sisinya seperempat APBD untuk 34 SKPD (21 dinas/badan/UPT dan 13 Kecamatan).[50]
Prioritas pembangunan sarana fisik, pada dasarnya sesuai dengan Misi Pertama (No 1) yaitu Mempercepat pembangunan peningkatan jalan, jembatan, irigasi, jalan desa, jalan usaha tani, pelabuhan, terminal, pasar, listrik, air bersih dan kawasan pemukiman layak huni, jaringan komunikasi serta infrastruktur lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian kerakyatan.
 Besar kecilnya anggaran yang diberikan kepada SKPD tergantung cara pandang Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)[51] dalam menilai penting tidaknya suatu SKPD.[52] Selanjutnya anggaran diprioritaskan sesuai aturan dan kebijakan.[53]
Penanganan program KKBPK sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh Badan PPA-KB saja akan tetapi juga dilakukan oleh SKPD lain seperti Dinas Kesehatan, PKK, Dinas Sosial, Pos Kesehatan Desa, Puskesmas pemerintah, Puskesmas Pembantu, Klinik Bersalin, Balai Pengobatan, Pondok Bersalin Desa, dan Kecamatan.  Mereka tidak hanya “meng-hayo-hayo” (mengajak) masyarakat mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan KB, tetapi juga memberikan advokasi dan aksi secara langsung.[54]
Capaian peserta KB baru komulatif per-mix kontrasepsi pada tahun 2016 dapat ditabulasi sebagai berikut.
Tabel 6
Capaian peserta KB baru komulatif per-mix kontrasepsi
No
Jenis Alkon
Jumlah
%
1
IUD
149
1,06
2
MOP (Metoda Operasi Pria)[55]
4
0,02
3
MOW (Metoda Operasi Wanita)
65
0,46
4
IMPLANT
774
5,51
5
Suntikan
7.179
51,16
6
PIL
5.603
39,93
7
Kondom
258
1,83

TOTAL
14.032
100
Sumber: Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tahun 2016

Berbagai bentuk alat kontrasepsi (Alkon) yang paling digemari masyarakat  antara lain: 1) suntikan (51,16%), 2) PIL (39,93%), 3) Implant (5,51%),  4) kondom (1,83%), 5) 5) IUD (1,06%), 6) MOW (0,46%), dan 7) MOP (0,02%).

3. Gambaran Persepsi Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan terhadap Program KKBPK

Kabupaten Katingan adalah salah satu bagian dari 14 kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah. Nama Katingan diambil dari sebuah nama aliran sungai yang membentang dari laut jawa kearah utara hingga mencapai perbatasan Kalimantan Barat. Berdasarkan UU No 5 tahun 2002 Kabupaten yang beribukota di Kasongan ini merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Induk Kotawaringin Timur.[56]
Kabupaten katingan dengan jumlah kecamatan sebanyak 13 Kecamatan,[57] 94 desa, dan 17 kelurahan, berpenduduk sebanyak 156,804 jiwa dengan luas wilayah 17,800 km2 dengan kepadatan 8,23jiwa/km2 merupakan daerah dengan penduduk yang masih sangat jarang.[58]
            Bupati yang menjabat saat ini yaitu H. Ahmad Yantenglie dengan wakil Bupati Sakariyas, S.E. Angaran yang dialokasikan untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB sebesar Rp 9.630.000.000,00. Dana yang secara khusus untuk program KKBPK yaitu sebesar Rp2.205.409.000,00[59] di dalamnya termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp906.000.00,00.[60] Apabila dibandingkan dengan APBD sebesar Rp1,304 trilyun maka besarnya dana yang dialokasikan untuk KB hanya sebesar 0,53%.
Secara lebih rinci, dana program KKBPK tahun 2016 sebesar Rp2.205.409.000,00 diperuntukkan untuk kegiatan sebagai berikut.
Tabel 7
Peruntukan dana KB di Kabupaten Katingan tahun 2016
No
Jenis Kegiatan
Angg (Rp)
1
Program KKBPK
865.380.000
2
Program Kesehatan Reproduksi Remaja
163.400.000
3
Program Pelayanan Kontrasepsi KB
581.579.000
4
Program Pembinaan Peran Serta Masyarakat dalam Pelayanan KB/KR yang mandiri
48.320.000
5
Program Promosi ibu, bayi, dan anak melalui Kelompok Kegiatan di Masyarakat
30.000.000
6
Program pengembangan pusat  layanan informasi dan konseling KKR
29.020.000
7
Program Penyiapan tenaga pendamping Kelompok Bina Keluarga
92.000.000
8
Program pengembangan model operasional BKB-Posyandu-Paud
95.300.000
9
Program pengembangan dan pembinaan Ketahanan Keluarga
120.410.000
10
Program administrasi Perkantoran
180.000.000

JUMLAH
2.205.409.000
Sumber: Kantor Badan PP-KB Kab. Katingan 2016.
Pada tahun 2014 dana yang dialokasikan untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB sebesar Rp 7.108.241.402,00, pada tahun 2015 sebesar Rp 8.730.024.141,00 dan pada tahun 2016 sebesar Rp 9.630.000.000,00 sehingga selalu terjadi peningkatan sebesar kurang lebih 1 milyar.
Bila dikaitkan dengan visi Kabupaten Katingan  yaitu,”Kabupaten Katingan sehat, cerdas, dan terbuka dalam keadilan dan kesejahteraan.” Sehat, yaitu kondisi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. Cerdas yaitu kondisi masyarakat yang cerdas pikirannya, emosinya, dan spritualnya. Terbuka, yaitu kondisi kabupaten kota yang terbuka untuk investasi, lancar transportasi, dan komunikasi.
Dari visi tersebut, ada tiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah, yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
Pada usia yang ke-12 ini, berkaitan dengan bidang pendidikan di Kabupaten Katingan   telah dilakukan berbagai upaya antara lain membangun sekolah SD di seluruh desa. Untuk pendidikan SMP berbasis Kecamatan. Begitu juga SMA/SMK berbasis kecamatan dan kabupaten. Bahkan untuk SMA/SMK telah dikembangkan SMA/SMK berasrama.[61]
Dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMA maka upaya penekanan angka perkawinan usia dini akan dapat ditekan.
Pada bidang kesehatan di Kabupaten Katingan telah dilakukan berbagai upaya antara lain pengangkatan bidan dan tenaga perawat kontrak, sehingga program 1 desa 1 bidan dapat terwujud, dan pembangunan kabupaten layak anak dengan penerbitan Perda Kabupaten Layak Anak.[62]
Ketiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan pada dasarnya seluruhnya sangat berkaitan dengan program pembangunan di bidang Keluarga berencana.
Kabupaten Katingan memiliki 13 Penyuluh KB dengan perincian 7 orang diserahkan menjadi pegawai pusat  dan sisanya 6 orang bertahan menjadi pegawai daerah.
            Badan PPA-KB terdiri atas tiga bidang, yaitu 1) bidang KB, 2) bidang Perlindungan perempuan dan anak, 3) Bidang, pemberdayaan kesejahteraan sosial (PKS), dan sekretaris.
Berkaitan dengan kesadaran masyarakat ber-KB di Kabupaten Katingan sudah cukup tinggi. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB yang menyatakan:
“KB dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Katingan sudah merupakan kebutuhan. Masyarakat sudah punya kesadaran. Terbukti, pada waktu saya melakukan penyuluhan, saya melontarkan pertanyaan, kira-kira kalau ibu punya anak lima mampu menyekolahkan anak atau tidak? Mereka menjawab, “Tentu tidak mampu”. Tetapi coba kalau ibu-ibu hanya mempunyai dua anak, tentu akan mampu menyekolahkan.”[63]
“Dua anak cukup” dalam program KKBPK hanya merupakan slogan. Kalau mampu mempunyai anak 3, 4, atau lima silahkan, tetapi jangan menjadi beban pembangunan. Rubah pola pikir kalian, kalau anak mau sekolah harus diusahakan.
Berkaitan dengan perkawinan usia dini sebagai akibat putus sekolah, Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB yang menyatakan:
“Memang ada sebagian anak yang putus sekolah, tetapi setelah saya datang, saya bertanya, ternyata penyebabnya bukan karena ekonomi semata, tetapi karena, pertama, sekolah tidak ada di daerah itu, kalau mau sekolah ke SMA jauh di Kecamatan, sehingga tidak mungkin bila harus sekolah di sana.”
Kerisauan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB berkaitan dengan banyaknya anak perempuan nikah pada usia dini di bawah 18 tahun, yang bersangkutan menyatakan:
“Bila masa anak-anak sudah menikah maka secara psikologis mereka belum siap sebagai ibu. Ia masih suka main HP, suka bermain, tetapi mereka harus menjadi ibu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bapak Wim, Kepala Bapeda mantan Kepada badan Pemberdayaan perempuan Anak, yang menyatakan bahwa:
“Kalau anak perempuan tidak melanjutkan sekolah ke SMA, ada tiga kemungkinan, pertama,  kalau mereka bekerja maka mereka dapat dikatakan produktif; Kedua, kalau mereka tidak bekerja, maka dapat dikatakan tidak produktif; ketiga, kalau mereka bergaul akan menjadi selah.”
            Pernikahan usia dini di Kabupaten Katingan dapat dikatakan sangat lumrah, oleh karena itu, Ibu Dra. Meliasi mengatakan:
“Katingan merupakan juara II”, dalam hal nikah usia dini di bawah 18 tahun. Oleh karena itu saya harus turun lapangan, agar kesadaran  masyarakat untuk menunda perkawinan usia dini dapat dikurangi..”
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan oleh Ibu Dra. Meliasi adalah sebagai berikut.
“Langkah yang dilakukan terhadap masyarakat yang selama ini belum tersentuh adalah melakukan sosialisasi yang ditujukan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran, selanjutnya baru dilakukan tindakan pemasangan Implant. Dalam proses pemasangan implant tidak dilakukan di dalam  kamar seperti memasang IUD. Dengan proses terbuka, masyarakat akan mengetahui kalau proses pemasangan implant tidak sakit karena disuntik anestesi lokal terlebih dahulu.”[64]
Tabel 8
Berbagai bentuk Alkon yang digemari masyarakat  Kabupaten Katingan

No
Jenis Alkon
Jumlah
(Januari-Juni 2016)
%
1
IUD
14
0,36
2
MOP (Metoda Operasi Pria)[65]
0
0
3
MOW (Metoda Operasi Wanita)
58
1,53
4
IMPLANT
98
2,58
5
Suntikan
960
25,34
6
PIL
460
12,14
7
Kondom
2.198
58,02

TOTAL
3.788
100
Sumber: Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tahun 2016
            Berdasarkan tabel di atas, berbagai bentuk alat kontrasepsi (Alkon) yang digemari masyarakat  Kabupaten Katingan berdasarakan data hasil penelitian antara lain: 1) kondom (58,02%), 2) suntikan (25,34%), 3) Pil (12,14%), 4) Implant (2,58%), 5) MOW (1,53%), 6) IUD (0,36%), dan 7) MOP (0%). Setiap alkon mempunyai kelebihan dan kekurangan.
            Berkaitan dengan keberpihakan Bupati Katingan terhadap program KKBPK dapat dirunut pernyataan Kepala Badan PPA-KB, Dra. Meliasi yang mengatakan:
“Pada awalnya, Bupati tidak begitu respon dengan program KKBPK. Karena beliau belum diadvokasi. Begitu juga Gubernur yang mengatakan, Kalimantan Tengah belum membutuhkan kampung KB, karena beliau belum pernah mendapatkan pemahaman dari Kepala Perwakilan BKKBN. Dengan kata lain, Kepala Perwakilan BKKBN belum tanggap.”[66]
            Hal ini didukung oleh pendapat kepala Bappeda, Wim, SE. M.M. yang mengatakan bahwa:
“Pernyataan Gubernur yang menolak kampung KB, seharusnya jangan dianggap sebagai hambatan, tetapi harus bisa menjadi peluang. Yang kita usahakan atau kita jaga adalah “jangan cepat kawin.” Jadi perlu “pendewasaan usia perkawinan”.”[67]
            Berkaitan dengan sikap Bupati Katingan terhadap Program KKBPK,  menurut Dra. Meliasi sebagai berikut.
“Bupati bukan tidak setuju, atau tidak mau melaksanakan program KKBPK, tetapi beliau tidak tahu. Kepala Badan PP-KB yang selama ini, tidak pernah memberikan advokasi kepada Bupati, bahwa kalau ingin keluarga berkecukupan, harus diberikan penyuluhan sejak dini, sejak anak di dalam kandungan, dengan diberikan layanan kesehatan, layanan lain yang berkaitan dengan program kesejahteraan ibu dan anak.”[68] 
            Strategi yang ditawarkan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Katingan, Wim, S.E., M.Si. yaitu:      
“Paradigma pengendalian penduduk” dengan alat kontrasepsi jangan ditonjolkan kepada Bupati dan Gubernur. Paradigma yang perlu ditonjolkan dalam program KKBPK adalah “Paradigma Pelayanan”.”[69]
Lebih lanjut, Wim menjelaskan keterkaitan antara putus sekolah dan perkawinan usia dini sebagai berikut:
“Angka kelangsungan sekolah hanya 8,9 tahun, artinya masih ada siswa yang tidak lulus sekolah SMP, sehingga akan meningkatkan angka perkawinan usia dini. Dengan tingginya angka perkawinan, akan meningkatkan kebutuhan alkon.”[70]
            Dengan adanya advokasi tersebut, Bupati merasa tergugah, sehingga pada tahun 2016 BPPA-KB mendapat tambahan alokasi dana sebesar 350 juta untuk sosialisasi dan penyuluhan KB di daerah pedalaman yang selama ini belum tersentuh oleh program KKBPK. Dengan demikian  tidak ada daerah yang sama sekali belum tersentuh oleh program KKBPK.
Program KKBPK yang ada di Kabupaten Katingan pada dasarnya juga sama dengan di Kabupaten Kapuas, hanya saja di Kabupaten Katingan lebih variatif kegiatannya, karena ada 17 program 68 kegiatan.[71]
Menurut Kepala Bappeda, selain kegiatan di atas masih ada dua kegiatan yaitu: 1) kampung KB, desa model (26 desa) dengan Peraturan Bupati (Perbup) desa model, 2) pengembangan Kabupaten Layak anak dengan leading Sektor Bappeda dan sekretaris Kepala Badan PPA-KB
Pihak yang terlibat dalam program KKBPK yaitu, BKKBN Perwakilan Kalimantan Tengah, Dokter, Bidan, PLKB,  Petugas KB, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Daerah (PPKBD), kader, tokoh masyarakat, Tim penyuluh (TP), Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Kelurga penggerak PKK KB, Kelompok UPPKS, BKB terintegrasi PAUD dan Posyandu.  

PEMBAHASAN
1. Memahami Realitas di Lapangan

Visi Provinsi Kalimantan tengah yaitu: “Kalteng Maju, Mandiri & Adil Untuk Kesejahteraan Segenap Masyarakat Menuju Kalteng Berkah (Bermartabat, Religius Kuat, Amanah Dan Harmonis)”  dengan Misi: 1) pemantapan tata ruang, 2) pengelolaan infrastruktur, 3) pengelolaan sumber daya air, pesisir & pantai, 4) pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi penanggulangan kemiskinan, 5) peningkatan bidang perekonomian masyarakat menuju Kalteng berkah, 6) pemantapan tata kelola pemerintah daerah, 7) pendidikan, kesehatan & pariwisata, 8) pengelolaan lingkungan hidup & sumber daya alam, dan 9) pengelolaan pendapatan daerah.
            Visi Kabupaten Kapuas yaitu Terwujudnya Kabupaten Kapuas yang lebih maju, sejahtera dan mandiri melalui pembangunan yang adil dan merata serta berkelanjutan.” Adapun misinya yaitu sebanyak 14 misi. Misi yang paling mendekati program KKBPK yaitu Misi ke-10 yang menyatakan, “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan yang mudah, murah, adil dan merata serta pembangunan fasilitas kesehatan, penempatan tenaga kesehatan, penyediaan obat-obatan, dan memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat kurang mampu.”
Visi Kabupaten Katingan yaitu ”Kabupaten Katingan sehat, cerdas, dan terbuka dalam keadilan dan kesejahteraan.” Sehat, yaitu kondisi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. Cerdas yaitu kondisi masyarakat yang cerdas pikirannya, emosinya, dan spritualnya. Terbuka, yaitu kondisi kabupaten kota yang terbuka untuk investasi, lancar transportasi, dan komunikasi. Dari visi tersebut, ada tiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah, yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
Membaca visi dan misi di atas, ternyata bentuk perlawanan terhadap program KKBPK yang pertama dilakukan oleh daerah adalah, tidak memasukkan kata keluarga berencana dalam Visi maupun misi daerah. Dengan tidak ada visi misi yang berkaitan KB maka tidak ada daerah yang memprioritaskan program KKBPK dalam pembangunan di daerahnya.
Selama ini, fokus pembangunan pada bidang fisik. Menurut pemahaman pemerintah daerah, dengan pembangunan bidang fisik yang baik, maka masyarakat akan mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan komunikasi yang baik. Dampak lebih lanjut, perkembangan perekonomian di daerah menjadi lebih cepat.
Dengan paradigma seperti itu, anggaran untuk KB sangat minim, program KKBPK terabaikan, pembangunan manusia termarginalkan, pengangkatan SDM KB (penyuluh KB dan petugas Lapangan KB) menjadi terabaikan, banyak masyarakat yang tidak tersentuh program KKBPK, tingkat kesehatan ibu dan anak akan menurun, tingkat pendidikan anak tidak naik, dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun. 
Apabila dibandingkan dalam bentuk tabel, perbandingan antara dana untuk KB dan APBN antara provinsi, kabupaten Kapuas, dan Katingan akan tampak sebagai berikut.
Tabel 9
Alokasi anggaran KB dibandingkan APBD
No
Kabupaten
Anggaran KB (Rp)
APBD (Rp)
% angg. KB dg APBD
1
Provinsi Kalteng*
235.000.000,00
4,2 Trilyun
0,0000006
2
Kapuas**
1.017.885.000,00
1,7 Trilyun
0,0000059
3
Katingan **
2.205.197.000,00
1,3 trilyun
0,0000058
Sumber:  *) Sekda Provinsi Kalteng
              **) Bapeda Kab Kapuas dan Katingan 2016
Tabel di atas memberikan informasi bahwa persentase besarnya anggaran KB dibandingkan APBD ternyata masih kurang dari 1%. Hal ini menguatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap program KKBPK relatif sangat minim. Dengan Kata lain, program KKBPK dianggap belum atau tidak relevan dengan tuntutan dan kebutuhan daerah. Mengingat, kebutuhan daerah yang sangat urgen/vital yaitu pembangunan infrastruktur.
Ada tiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah, yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Ketiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan pada dasarnya seluruhnya sangat berkaitan dengan program pembangunan di bidang Keluarga Berencana. Apabila keterkaitan itu digambarkan dalam bentuk diagram akan tampak sebagai berikut.
 












Diagram 1
Keterkaitan antara program prioritas pembangunan dalam mendukung
Program KKBPK
Pembangunan di bidang pendidikan dengan mewujudkan Perda wajib belajar 12 tahun, akan mampu mengurangi atau menekan perkawinan usia dini.
Begitu juga pembangunan di bidang infrastruktur baik jalan jembatan, komunikasi, jumlah pembangunan unit baru sekolah SMP dan SMA hinga kecamatan akan memudahkan siswa bersekolah hingga SMA. Akses tempat tinggal siswa dan tempat sekolah terjangkau, putus sekolah menurun, angka perkawinan dini menurun. Hal ini juga akan sangat berkaitan dengan upaya mendewasakan usia perkawinan. Dengan jalan dan jembatan yang baik, maka upaya masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan ke Puskesmas maupun rumah sakit menjadi mudah, cepat, dan murah. Begitu juga dengan infrastruktur komunikasi yang baik, maka upaya pemerintah untuk melakukan advokasi, persuasi, dan aksi di bidang KB akan menjadi mudah.
Pembangunan di bidang kesehatan ibu dan anak, juga secara langsung akan sangat mendukung program keluarga berencana. Dengan adanya program satu desa satu bidan, akan mampu memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak secara cepat, dekat, dan murah. Pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan bina keluarga sejahtera, bina keluarga lansia, bina keluarga remaja, akan menjadi mudah untuk direalisasikan.
Dengan demikian, prioritas pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur seluruhnya sangat mendukung program keluarga berencana. Apabila digambarkan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan KB baik yang ada di Kabupaten Kapuas maupun di Kabupaten Katingan adalah sebagai berikut. 

 












Diagram 2
Model Peningkatan Keberhasilan KB
Melihat diagram di atas, upaya keluarga berencana sejak remaja sangat diutamakan, terbukti setidaknya ada empat kegiatan yang secara khusus ditujukan kepada generasi muda yaitu:  1) Kesehatan reproduksi remaja (KRR), 2) Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR), 3) Bina Keluarga Remaja, dan 4) Generasi Berencana.
Program KKBPK yang dilakukan untuk penundaan usia perkawinan untuk wanita minimal 21 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun sesungguhnya berdampak pada pembatasan jumlah anak, dan pengaturan jarak anak (minimal 3 tahun) akan berdampak pada pembatasan jumlah anak juga. Pada akhirnya, tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Keseluruhan uraian itu apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut.
 









Diagram 3
Keterkaitan antara program KKBPK dengan tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Program KKBPK yang dilaksanakan pada era ORDE BARU tetapi tidak dilaksanakan pada Era saat ini, padahal program tersebut sangat bermanfaat, antara lain: 1) program UPPKS tidak dilaksanakan secara maksimal karena tidak ada dukungan anggaran dari BKKBN, b) pengadaan sarana transportasi sungai seperti kelotok dances untuk kegiatan penyuluhan KB, dan 3) Sarana Komunikasi seperti Single-sideband modulation (SSB) atau sistem  teknologi radio untuk koordinasi di daerah wilayah yang tidak ada sinyal atau tertinggal terpencil untuk penyuluh KB.
Keunikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan program KKBPK yang tidak ada di daerah lain antara lain: 1)  Pembentukan Desa Model KB, 2) Penyuluhan tentang alat kontrasepsi KB modern, 3) Pendewasaan Usia Perkawinan, 4) Penyuluhan Bahaya Narkoba, 5) pelayanan KB Gratis bagi PUS di daerah GALCIL (tertinggal terpencil) setiap tahun, dan 6) sosialisasi Kelangsungan Hidup Ibu Bayi dan Anak (KHIBA).
Berbagai alasan masyarakat menolak ikut ber-KB antara lain: 1) adanya pendapat yang mengatakan penggunaan alat kontrasepsi KB dapat menimbulkan efek samping seperti pusing, mual, perdarahan dan lain–lain, 2) alat kontrasepsi KB dapat menyebabkan kegemukan, 3) takut jika di kemudian hari ingin hamil lagi, akan kesulitan karena rahim terlanjur kering dan tidak bisa melakukan pembuahan, 4) masih adanya beberapa orang yang menganggap penggunaan alat kontrasepsi KB melanggar aturan agama, 5) masih adanya anggapan masyarakat “Banyak Anak Banyak Rejeki,” 6) luas daerah Kabupaten Katingan masih tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang masih sedikit, 7) takut jika terjadi efek samping penggunaan alat kontrasepsi, 8) alat kontrasepsi dapat membuat badan menjadi gemuk, dan 9) penggunaan alat kontrasepsi dapat menimbulkan akibat negatif seperti pusing, perut mual dan sebagainya
Kendala yang dialami daerah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat ikut KB, antara lain: 1) adat dan budaya masyarakat, 2) sebagian masyarakat masih beranggapan luas wilayah Kabupaten Katingan tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang masih sedikit, 3) belum semua desa (161 desa) mendapatkan sosialisasi dan advokasi KB, 4) kurangnya kelompok / IMP (sebagai tempat konseling, 5) pemanfaatan provider terlatih belum optimal, 6) terbatasnya KIE, Promosi, dan Sosialisasi Pelayanan KB Metode Operatif, 7) pemanfaatan sarana pelayanan KB belum optimal, 8) sangat minimnya tenaga lapangan (PKB/ PLKB ), 9) kurangnya dukungan dari Institusi Masyarakat, 10) sebagian wilayah sulit dijangkau, 11) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunakan KB, 12) menganggap program KKBPK bertentangan dengan budaya masyarakat, 13) banyak masyarakat yang masih memegang paham bahwa banyak anak banyak rejeki
Langkah yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengatasi kendala tersebut antara lain: 1) melakukan pendekatan tokoh formal dan informal (tokoh agama, tokoh masyarakat), 2) melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang program KKBPK yang tidak hanya menyerukan slogan “2 Anak Cukup” namun secara holistik lebih ke Ketahanan Keluarga Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera, Sehat dan Berkualitas, 3) melakukan penyuluhan kepada calon akseptor dengan segala pengertian yang bisa dipahami tahap demi tahap agar masyarakat mau menjadi akseptor KB, 4) selalu memberikan pelatihan kepada bidan agar selalu belajar metode terbaru dalam hal pelayanan, 5) selalu membimbing kader agar selalu semangat dalam memberikan pengertian kepada calon akseptor.
 Metode ber–KB yang dilakukan oleh masyarakat secara alami (dengan kearifan lokal) yang diyakini mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi antara lain: 1) MAL (Metode Amenorea Laktasi), 2) senggama terputus, 3) metode kalender (Pantang Berkala), dan 4) menggunakan obat tradisional yang menggunakan bahan akar tanaman dan kayu, 3) sistem kalender, 4) senggama terputus, 5) minum jamu herbal peninggalan nenek moyang yang sudah diwariskan secara turun-temurun.

2. Bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana
Berdasaarkan hasil wawancara dengan Pejabat Pemerintah Daerah, Pejabat BKKBN Provinsi, DPRD Provinsi, dan narasumber dapat dipahami bahwa setiap upaya hegemoni yang dilakukan oleh negara, termasuk hegemoni dalam penyusunan program KKBPK, akan mendapat “penolakan”[72] dari pemerintah daerah. Penolakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, bukan bertujuan untuk membangkang terhadap program nasional tersebut, akan tetapi, hanya karena pemerintah daerah punya program lain yang lebih urgen harus diselesaikan dibandingkan program KKBPK yang sudah “ditangani” langsung oleh pemerintah pusat. Jadi menurut nara sumber (informan kunci), Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, pendidikan, pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan pegawai, dan program propoor lainnya.[73] 
Menurut informan kunci lainnya, bentuk penolakan pemerintah daerah terhadap Program KKBPK diwujudkan dalam bentuk yang sangat halus seperti penganggaran Program KKBPK yang sangat minim, hanya kurang dari 1% dari keseluruhan APBD. Hal ini tentu tidak sebanding dengan banyak kegiatan yang harus dilakukan dalam mendukung mega-program  yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, sehingga tentu, jumlah anggaran yang hanya kurang dari 1% tersebut tidak mencukupi ketika harus melakukan perencanan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring program KKBPK.[74]
            Proses penolakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah diawali oleh politik kebijakan anggaran yang disetujui oleh DPRD dalam penyusunan APBD di daerah, sehingga beruntun dengan minimnya jenis kegiatan yang bisa digunakan untuk mendukung program Pemerintah Pusat.


3. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Resistensi
            Berdasarkan hasil penelitian dan perenungan yang mendalam, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi, dapat dirinci sebagai berikut.
            Pertama, pola hubugan yang tidak seimbang antar elemen pemerintah daerah dalam hal  pelaksanaan program keluarga berencana yang mengakibatkan banyak hal, antara lain: 1) alokasi dana  yang diajukan oleh pemerintah daerah tidak disetujui oleh DPRD, 2) dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program keluarga Berencana menjadi minim, 3) banyak kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program KKBPK tidak mendapat alokasi dana yang mencukupi, 4) Sumber daya (sarana dan prasarana) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program KKBPK menjadi minim, 5) SDM yang ahli di bidang KB menjadi minim.
            Kedua, telah terjadi pola hubungan yang tidak seimbang antar-elemen pemerintah daerah, yang dibuktikan oleh rendahnya koordinasi antar pemangku kepentingan kebijakan kependudukan. Masalah kependudukan seolah-olah hanya menjadi tanggungjawab dan monopoli BKKBN semata. Ketika peran lembaga-lembaga non pemerintahan, seperti DPRD, dan  partai politik, menjadi semakin besar, mau tidak mau peran dan orientasi lembaga pemerintah harus mengikutsertakan mereka dalam setiap membuat kebijakan, termasuk kebijakan di bidang kependudukan (Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015). Sayangnya,  keberpihakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di dalamnya termasuk partai politik terhadap pelaksanaan program KKBPK.
Ketiga, keterlibatan atau kepedulian organisasi sosial kemasyarakatan non-pemerintah (LSM, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, darmawanita) terhadap pelaksanaaan program KKBPK yang rendah. Mayoritas organisasi tersebut lebih lebih tertarik pada aspek lain yang lebih mendatangkan uang dibandingkan harus mengurusi aspek kependudukan yang notabene kering atau minim dalam hal pendanaan.
Keempat, rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KKBPK oleh lembaga pemerintah. Advokasi pelaksanaan program KKBPK yang dilakukan oleh lembaga pemerintah relatif jarang, kalau tidak boleh mengatakan tidak pernah. Advokasi hanya dilaksanakan oleh RT, RW, dan ketua PKK tingkat desa, dalam hal ini isteri kepala desa.
Kelima, penolakan halus terhadap pelaksanaan program KKBPK baik yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah maupun yang diprakarsai oleh lembaga non pemerintah (Posyandu, Pos pemberdayaan keluarga/Posdaya, PKK). Mereka menganggap urusan pelaksanaan KB diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.    
Keenam, rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak diikuti dengan penerimaan atau perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya mutu sumber daya manusia di bidang KB. Secara kuantitas jumlah mereka sangat kurang, sementara secara kapabilitas mayoritas para penyuluh masih sangat rendah. Sekali lagi, rendahnya mutu para penyuluh lebih banyak disebabkan oleh rendahnya dukungan lembaga pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan regulasi pelaksanaan Program KKBPK. 

4. Dampak Resistensi Daerah terhadap Program KKBPK
            Dampak resistensinya adalah kenaikan angka pertambahan penduduk secara signifikan. Akibat langsung atas resistensi tersebut, seluruh program KKBPK, hanya mengandalkan dana dari pusat, sementara itu dana penyertaan dari daerah sangat minim. Seluruh rangkaian kebijakan/politik anggaran tersebut menyebabkan mandegnya program pemerintah di bidang kependudukan.
Realitas adanya instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran, telah menyebabkan dampak yang sangat luas terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan program KKBPK, mulai dari: 1) penyuluhan program KKBPK, 2) pelatihan tim penyuluh KB, 3) pengadaan sarana dan prasaran KB, 4) pengadaan bahan habis pakai, 5) perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjut pelaksanaan program KKBPK seluruhnya akan berjalan ditempat.    
Rendahnya dukungan lembaga pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan: 1) regulasi pelaksanaan program KKBPK berdampak pada rendahnya anggaran yang bisa digunakan untuk pelaksanaan program KKBPK, 2) kontribusi BKKBN dan Dinas Kesehatan dalam mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan model penurunan tingginya angka kematian ibu dan anak juga sangat terbatas, 3) rendahnya sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan Program KKBPK.
Dampak di atas, berdampak lagi pada: 1) rendahnya kuantitas dan kapabilitas penyuluh KB di lapangan, 2) rendahnya inisiatif masyarakat untuk mengikuti program KKBPK secara mandiri.  
Dampak tersebut berimplikasi pada dampak berikutnya yaitu: 1)  masyarakat menjadi semakin jauh terhadap program KKBPK, 2) tingginya angka kematian ibu dan anak. Dengan kata lain, berbagai kasus kematian ibu dan anak belum bisa diturunkan.   

5. Strategi Mengatasi Resistensi Daerah terhadap Program KKBPK
Strategi mengatasi resistensi daerah dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah program Keluarga Berencana mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.
Kedua, politik demografi harus menjadi isu strategis yang harus dilakukan Pemerintah Pusat dan sedapat mungkin mendapatkan sambutan dari Pemerintah Daerah. Hal ini sejalan dengan  temuan penelitian yang dilakukan oleh IPADI[75] bahwa politik demografi harus menjadi isu strategis yang dilakukan pemerintah dan harus mendapatkan sambutan dari Pemerintah Daerah.
            Ketiga, Isu kependudukan tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga perlu kembali diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu kependudukan yang jarang dibahas dan didiskusikan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan berdampak pada menurunnya minat pemerintah daerah dalam mendukung program pemerintah tersebut.
            Keempat, bangun politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil dan makmur.
   Kelima, ketatnya pengendalian politik dalam bentuk regulasi oleh pemerintah pusat menyebabkan partisipasi pemerintah daerah terhadap program itu menjadi melemah. Cara mengatasinya, dalam setiap tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, monitoring dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil seluruhnya melibatkan pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah merasa dilibatkan dan diikutsertakan dalam seluruh rangkaian program pemerintah tersebut.
Dampak adanya instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran pada dasarnya sesuai dengan temuan Busro yang menyatakan bahwa dampak negative dengan rendahnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah terhadap program KKBPK akan bersifat yang sangat luas dan berdampak jangka pendek, menengah, dan panjang.   

Simpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan  dapat disipulkan sebagai berikut.
1.    Bentuk perlawanan terhadap program KKBPK yang pertama dilakukan oleh daerah adalah, tidak memasukkan kata keluarga berencana dalam visi maupun misi daerah, sehingga tidak ada daerah yang memprioritaskan Program KKBPK dalam pembangunan di daerahnya. Selama ini, fokus pembangunan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.  Pembangunan di bidang pendidikan dengan mewujudkan Perda wajib belajar 12 tahun, pembangunan unit baru sekolah SMP dan SMA hingga tingkat kecamatan akan mampu mengurangi atau menekan perkawinan usia dini. Begitu juga pembangunan di bidang infrastruktur baik jalan, jembatan, puskesmas, rumah sakit, dan jaringan komunikasi, yang baik, maka upaya masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi mudah, cepat, dan murah. Begitu juga dengan infrastruktur komunikasi yang baik, maka upaya pemerintah untuk melakukan advokasi, persuasi, dan aksi di bidang KKBPK akan menjadi mudah.
2.    Faktor-Faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi yaitu karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat skala prioritas pembangunan, yang lebih mengutamakan program pembangunan infrastruktur. Dengan adanya sumber daya alam yang luas serta jumlah penduduk yang masih sangat sedikit membuat kepala daerah, kurang setuju dengan berbagai program KKBPK terutama yang berkaitan dengan alat kontrasepsi atau pembatasan jumlah anak.
3.    Dampak resistensinya adalah: 1) tidak ada pengangkatan tenaga PNS atau kontrak baru yang ditugaskan untuk mengurusi KKBPK bahkan PNS PLKB banyak yang ditugaskan di tempat lain atau diangkat dalam jabatan struktural di luar BPP-KB, b) tidak semua masyarakat dapat menerima fasilitas program KKBPK baik dalam bentuk penyuluhan, persuasi, bantuan layanan, pemberian alat kontrasepsi, c) tingkat kesehatan dan kesejahteraan keluarga menurun.
4.      Strategi mengatasi resistensi daerah: a) perlu adanya advokasi yang intensif dari semua kalangan khususnya kepada kepala daerah sehingga pemahaman kepala daerah terhadap Program KKBPK menjadi terbuka, b) perlunya koordinasi antara pusat dan daerah sehingga program KKBPK mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.  

Saran
Berdasarkan simpulan di atas diharapkan: 1) ke depan pemerintah hendaknya selalu melaksanakan program sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan program KKBPK agar kesadaran para pimpinan pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan program KKBPK menjadi meningkat kembali, 2)  pemerintah pusat, BKKBN Pusat, Pemerintah daerah, BKKBN perwakilan di daerah, penyuluh KB, petugas lapangan KB, bidan desa,  dan semua pihak yang terkait dalam melaksanakan program KKBPK hendaknya dapat bekerja secara maksimal, sehingga mampu meminimalisasi resistensi program KKBPK.  

DAFTAR PUSTAKA

Busro, Muhammad. 2016. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah, Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten

Faisal, Sanapiah. 1992. Peneliti Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang: UM Press.

Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015. Menggagas kependudukan baru, dalam buku, Reorientasi Kebijakan Kependudukan, diunduh dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU tanggal 30 Maret 2016

Gurr, Ted Robert. 1970. Why Man Rebel, (Princeton, NJ: Princeton University Press

Haynes, Jeff. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum Terpinggir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Hoffer, Eric. 1988. Gerakan Massa, Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Oligarki

Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560 tanggal 1 April 2016.

Kalteng Pos. 2015. Gubernur tak Ingin ada kampong KB di Kalteng. 7 Juni 2015
Kalteng Pos. 2015. Angka Kematian Bayi Meningkat. 21 Agustus 2015 halaman 17
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, dan Johnny SaldaƱa. 2008. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Edisi 3. Los Angeles: Sage Publication.
Mas’oed, Mohtar. 2000. Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK UGM
Rohani, 2015. Dampak Rendahnya Partisipasi Masyarakat ber-KB Mandiri, Makalah, Lokhsumawe: Program Pascasarjan Universitas Malikussaleh (Unimal)
Salert,  Barbara. 1976. Four Theories Revolutions and Revolutionaries, New York/Oxford/Amsterdam: Elsevier

Scott, James C.  1987. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press

Siahaan, Hotman M. 1996. “Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi”, Disertasi tidak Diterbitkan,  Surabaya: Pascasarjana Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga.

Siahaan, Hotman M. 1998. 'Anarki' Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar "Anarkhi, Represi, dan Demokrasi" yang diadakan dalam rangka Dies Fisipol UGM, 19 September 1998.

Singarimbun, Masri; Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian  Survei. Jakarta: Salemba Empat
Skocpol, Theda. 1979. Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina.  (Terj. Kelompok Mitos. Jakarta: Penerbit Erlangga
Supangat, 2015. “Melihat Sisi Gelap Progam KB Pascareformasi,” Makalah, Banten: STIE Banten

Tirtosudarmo, Riwanto. 2013. From Colonization to Nation-State: the Political Demography of Indonesia. Jakarta: LIPI Press

Tirtosudarmo, Riwanto. 2014. Menuju Politik Kependudukan yang Berbasis Kewarganegaraan dan Keindonesiaan. Diunduh dari http://kependudukan.lipi.go.id/id/ tanggal 1 April 2016

Weiner, Myron. 1971. Crises and sequences in political development. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press




[1] Muhammad Busro. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah, (Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten, 2016) hal 1


[2] Hasil diskusi duduk bersama antara peneliti, Dr. Siduk Usop, M.Si, dan Dr. Dr. Muhammad Busro, saat membahami permasalahan berdasarkan kondisi lapangan

[3] Myron Weiner, Crises and sequences in political development. (Princeton, NJ: Princeton Univ. Press,  1971) hal 34.

[5] Tirtosudarmo, Riwanto  hal 3
[6] Tirtosudarmo, Riwanto  hal 4
[7] Tirtosudarmo, Riwanto  hal 5
[8]  Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560 tanggal 1 April 2016
[9] Baca lebih lanjut https://id.wikipedia.org/wiki/Oligarki
[10] Sebagai contoh, pemerintah menghendaki adanya pembatasan jumlah anak, sementara daerah merasa tidak perlu karena jumlah penduduk di suatu wilayah masih sangat jarang.
[12] Riwanto Tirtosudarmo, hal 4
[13] Riwanto Tirtosudarmo.. hal 5
[14] Riwanto Tirtosudarmo... hal 5
[15] Riwanto Tirtosudarmo ...hal 6
[16] Mup hammad Busro. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah, (Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten, 2016) hal 2

[17] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum Terpinggir (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000) hal 20-21.

[18] Hotman M. Siahaan, “Pembangkangan Terselubung …hal 33
[19] Hotman M. Siahaan, "'Anarki' Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar "Anarkhi, Represi, dan Demokrasi" yang diadakan dalam rangka Dies Fisipol UGM, 19 September 1998. hal 19-46
[20] James C. Scott, Weapons of the Weak …hal 305
[21] James C. Scott, Weapons of the Weak …hal 305.
[22] James C. Scott, Weapons of the Weak... hal 302
[23] Eric Hoffer, Gerakan Massa, Terj. Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988) lihat juga Kata Pengatarnya Yap Thiam Hiem.
[24] Theda Skockpol, Negara …hal 7, atau Hotman M. Siahaan, Perlawanan …hal.41.
[25] Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina.  (Terj. Kelompok Mitos ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 1979) hal 7 atau bisa juga dibaca pada Hotman M. Siahaan, Perlawanan… hal 40 
[26] Lihat Ted Robert Gurr, Why Man Rebel, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1970) hal 3-5
[27] Lihat Mohtar Mas’oed, Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu (P3PK UGM, Yogyakarta. 2000) hal 7
[28] Barbara Salert, Four Theories Revolutions and Revolutionaries, (New York/Oxford/Amsterdam: Elsevier, 1976) hal 3-5
[29]   Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian  Survei. (Jakarta: Salemba Empat, 1989) hal 32
[30]   Faisal, Sanapiah. Peneliti Kualitatif: Dasar- Dasar dan Aplikasi, (Malang: UM Press. 1992) hal 64
[31] Matthew B. Miles,, A. Michael Huberman, dan Johnny SaldaƱa. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Edisi 3. (Los Angeles: Sage Publication, . 2008) 76.
[32] Sambutan Gubernur pada acara Ibadah Syukuran dan ramah tamah umat Kristiani Kalteng dengan Gubernur dan wakil Gubernur Kalteng Masa Jabatan 2016-2021 di Aula Jayang Tingang Sabut 4 Juni 2016. Baca juga Kalteng Pos tanggal 7 Juni 2015.
[33] Hasil Wawancara dengan Sekda Provinsi Kalimantan Tengah Dr. Drs. Sion Djarian, SH, MH tanggal 28 Juni 2016
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Hasil Wawancara pada tanggal 24 Juni 2016 pukul 16.00-18.00 di Hotel Ando Raya Jl. Yos Sudarso Palangka Raya Kalimantan Tengah.
[39] Hasil wawancara pada tanggal 25 Juni 2016 pukul 19.00-21.00 di rumah yang bersangkutan.
[41] Letak geografis Kabupaten Katingan adalah antara 1°14'4,9"-3°11'14,72" LS dan 112°39'59"-112°41'47" BT. Karakteristik daerah-daerah adalah keberadaan sungai dan hutan yang terbesar di seuruh wilayah. Pada tahun 2002 masih menjadi bagian dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satu yang menonjol dari wilayah yang dialiri Sungai Katingan, sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah adalah kekayaan hasil hutan ikutan berupa rotan. Katingan merupakan salah satu daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia
[42] Lihat Provil Kabupaten Kapuas tahun 2016
[43] Hasil wawancara dengan Drg. Luhut Sinaga, Sekretaris Badan PP-KB tanggal 24 Juni 2016. Menurut Arahan Presiden sebenarnya money follow program bukan program follow money.
[44] Isi Pidato Bupati Kapuas saat menghadiri HUT Ikatan Bidan Indonesia yang ke 64. Baca pula Kalteng Pos tanggal 21 Agustus 2015 halaman 17.
[45] Hasil Wawancara dengan Ibu Satyawati Kusumawijaya, S.Psi, Kabag Kantor Perwakilan BKKBN Kalimantan Tengah tanggal 24 Juni 2016, saat perjalanan antara Kota Palangka Raya Menuju Kabupaten Kapuas
[46] Hasil wawancara dengan Bapak Luhut Sinaga, Drg. Sekretaris Badan PPA-KB Kab Kapuas tanggal 24 Juni 2016.
[47] Hasil wawancara dengan Bapak Mirhan Subbagian Data dan Informasi Badan PPA-KB Kab. Kapuas tanggal 24 Juni 2016.
[48] Hasil wawancara dengan Sekretaris Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tanggal 24 Juni 2016. Selanjutnya dijelaskan bahwa besaarnya DAK di Kabupaten Kapuas sebesar 440 Milyar.
[49] Hasil Wawancara dengan Bapak Widodo Subbagian Perencanaan Badan PPA-KB Kab. Kapuas n tanggal 24 Juni 2016..
[50] Hasil wawancara dengan Salah satu Kabag di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kapuas Bp. Abdurrahman tanggal 24 Juni 2016. Dengan perincian untuk pembangunan fisik sebesar 257 milyar dan sisanya 183 milyar nonfisik. Bila dibandingkan pada tahun 2015, jumlah DAK sebesar 127 milyar .
[51] TAPD terdiri atas DPR, Sekretaris Daerah, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Aset Daerah.
[52] Nomenklatur SKP dibagi dalam tiga kelas/tipe yaitu SKPD tipa A untuk SKPD yang sangat penting, tipe B SKPD penting, dan tipe C SKPD penunjang. 
[53] Hasil wawancara dengan Didik Sulistiyono, S.E petugas Administrasi aplikasi RKA-KL Bappeda Kab. Kapuas tanggal 24 Juni 2016
[54] Hasil wawancara dengan Sekretaris Badan PPA-KB Kab Kapuas tanggal 24 Juni 2016.
[55] MOP dan MOW merupakan kontrasepsi mantap (kontap).Tindakan kontap pada wanita disebut kontap wanita atau  MOW (Metoda Operasi Wanita ) atau tubektomi, sedangkan pada pria MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi.Kontrasepsi mantap pada wanita  atau  MOW (Metoda Operasi Wanita) atau tubektomi, yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan saluran telur agar sel telur tidak dapat dibuahi oleh sperma. Kontrasepsi mantap pada pria atau MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi., yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan  saluran benih agar sperma tidak keluar dari buah zakar.
[56] Lihat Profil Kabupaten Katingan 2015.
[57] Sebanyak 13 kecamatan yang dimaksud yaitu: Katingan Kuala, Mendawai, Kamipang, Tasik Payawan, Katingan Hilir, Tewang Sangalang Garing, Pulau Malan, Katingan Tengah (Central Katingan), Sanaman Mantikei, Petak Malai, Marikit, Katingan Hulu, dan Bukit Raya
[58] Letak geografis Kabupaten Katingan adalah antara 1°14'4,9"-3°11'14,72" LS dan 112°39'59"-112°41'47" BT. Karakteristik daerah-daerah adalah keberadaan sungai dan hutan yang terbesar di seuruh wilayah. Pada tahun 2002 masih menjadi bagian dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satu yang menonjol dari wilayah yang dialiri Sungai Katingan, sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah adalah kekayaan hasil hutan ikutan berupa rotan. Katingan merupakan salah satu daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia.
[59] Dana yang diusulkan pada tahun 2015 untuk anggaran tahun 2016 sebesar, 4.2 milyar, akan tetapi hanya disetujui sebesar 2,2 milyar
[60] Hasil wawancaraa dengan Ibu Dra. Meliasi kepala Badan PPA-KB Kab. Katingan tanggal 25 Juni 2016.
[61] Hasil wawancara dengan Kepala Bapeda Kabupaten Katingan, Wim SE., M.M. tanggal 25 Juni 2016
[62] ibid
[63] Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB Kabupaten Katingan tanggal 25 Juni 2016 pukul 08.30-09.30.
[64] Ibid
[65] MOP dan MOW merupakan kontrasepsi mantap (kontap), yaitu suatu tindakan untuk membatasi keturunan dalam jangka waktu yang tidak terbatas; yang dilakukan terhadap salah seorang dari pasangan suami  isteri atas permintaan yang bersangkutan, secara mantap dan sukarela. Kontap dapat diikuti baik oleh wanita maupun pria.  Tindakan kontap pada wanita disebut kontap wanita atau  MOW (Metoda Operasi Wanita ) atau tubektomi, sedangkan pada pria MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi.Kontrasepsi mantap pada wanita  atau  MOW (Metoda Operasi Wanita) atau tubektomi, yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan saluran telur agar sel telur tidak dapat dibuahi oleh sperma. Kontrasepsi mantap pada pria atau MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi., yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan  saluran benih agar sperma tidak keluar dari buah zakar.
[66] Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB Kabupaten Katingan tanggal 25 Juni 2016 pukul 08.30-09.30.
[67] Ibid
[68] ibid
[69] Hasil wawancara dengan Kepala Bapeda Kabupaten Katingan, Wim, S.E., M.M. tanggal 25 Juni 2016 pukul 10.00-11.00
[70] ibid
[71] Hasil wawancara dengan Dra. Meliasi, Kepala Badan PPA-KB tanggal 25 Juni 2016
[72] Penolakan, sebagai istilah khusus dari para pejabat, karena mereka risih dengan kata perlawanan atau resistensi. Mereka menganggap kata perlawanan tabu diucapkan oleh aparatur sipil Negara (ASN). 
[73] Hasil wawancara dengan pejabat pemerintah daerah, DPRD Provinsi, pejabat BKBN, nara sumber ahli sosiologi antropologi Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad Busro tanggal 15-20 April 2016.
[74] Hasil wawancara dengan Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad Busro tanggal 21-22 April 2016
[75]  Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560 tanggal 1 April 2016