RESISTENSI
DAERAH
TERHADAP
PROGRAM KELUARGA BERENCANA
Helmuth Y. Bunu
Guru Besar Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, e-mail: hyb047@yahoo.co.id HP: 0811520140
Abstrak
Tujuan
penelitian adalah untuk mendeskripsikan: 1)
bentuk-bentuk resistensi daerah, 2) faktor-faktor
yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi, 3) dampak
resistensi, dan 4) strategi mengatasi resistensi daerah terhadap program
Keluarga Berencana. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif explanatory. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Maret—Mei 2016. Informan
kunci meliputi: 1) Sekretaris Daerah Provinsi,
2) Ketua Komisi Anggaran DPRD, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Provinsi. Informan kunci di luar pemerintah untuk memperoleh experts judgment meliputi: 1) LSM di bidang kependudukan (LSM Pandohop Tabela), 2) Dr. Sidiq Usop, M.Si. (Ahli
kebijakan publik, dan ahli kependudukan di
Universitas Palangkaraya), 3) Dr. Dr. Muhammad Busro (ahli Sosiologi
Antropologi). Data dikumpulkan dengan observasi partisipatif, wawancara
mendalam, dan telaah dokumentasi dan kepustakaan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
dan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan: 1) bentuk-bentuk
resistensi daerah terhadap program KKBPK diawali dengan tidak mencantumkan program KKBPK dalam visi maupun misi Pemerintah daerah,
sehingga program KKBPK tidak menjadi prioritas dan jumlah anggaran menjadi sangat minim bahkan jauh di bawah 1% dari total
APBD, 2) faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi yaitu
karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk
membuat skala prioritas pembangunan, serta kurangnya
pemahaman kepala daerah terhadap prgram KKBPK yang bukan hanya alat kontrasepsi
atau pembatasan jumlah anak, tetapi meliputi program pembangunan keluarga sehat
dan sejahtera 3) dampak resistensinya adalah tidak ada pengangkatan tenaga PNS atau kontrak baru yang ditugaskan untuk
mengurusi KKBPK bahkan PNS PLKB banyak yang ditugaskan di tempat lain atau
diangkat dalam jabatan struktural di luar BPP-KB, dampak berikutnya tidak semua
masyarakat dapat menerima fasilitas program KKBPK baik dalam bentuk penyuluhan, persuasi, bantuan layanan, pemberian alat
kontrasepsi, dampak akhirnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan
keluarga menurun, dan 4) strategi mengatasi resistensi daerah meliputi perlu adanya advokasi yang intensif dari semua kalangan khususnya kepada Kepala Daerah
sehingga pemahaman Kepala Daerah terhadap program KKBPK menjadi terbuka, dan
perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah sehingga program Kependudukan Keluarga
Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) mendapat dukungan yang maksimal
dari daerah.
Kata
kunci: Resistensi,
pemerintah daerah, keluarga berencana
A.
Pendahuluan
Berbagai
permasalahan di daerah berkaitan dengan pelaksanaan program Kependudukan Keluarga Berencana
dan Pembangunan Keluarga (KKBPK)bersifat
sangat kompleks, karena permasalahan itu tidak hanya
menyangkut rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program KKBPK, tetapi juga
berkaitan dengan rendahnya perhatian Pemerintah
Daerah terhadap program nasional (program
KKBPK) yang dibuktikan dengan rendahnya anggaran di daerah yang dialokasikan
untuk pelaksanaan program KKBPK, minimnya kegiatan sosialisasi, layanan sosial
dan kampanye program KKBPK, rendahnya kehadiran Pemerintah
Daerah dalam mengurangi tingginya angka
kelahiran, sedikitnya
sumber daya daerah yang dikhususkan untuk program KKBPK, terbatasnya jumlah
sumber daya manusia terampil yang secara khusus ditugaskan untuk menangani program
KKBPK, dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap program KKBPK.[1]
Seluruh
permasalahan itu dapat ditipologikan menjadi delapan klasifikasi besar yaitu:
1) rendahnya alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan untuk mendukung
pelaksanaan program KKBPK, yang dibuktikan dengan belum adanya kebijakan
alokasi anggaran untuk pengendalian jumlah perkembangan penduduk yang tinggi, 2)
Pola hubungan yang tidak seimbang antar-elemen
pemerintah daerah, yang dibuktikan oleh rendahnya
keberpihakan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) terhadap
pelaksanaan program KKBPK, 3) rendahnya keterlibatan atau kepedulian lembaga
non-pemerintah/organisasi sosial kemasyarakatan (LSM, organisasi kepemudaan,
organisasi keagamaan, dharmawanita) terhadap pelaksaan program
KKBPK, 4) rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KKBPK oleh lembaga
pemerintah, 5) penolakan halus terhadap pelaksanaan program KKBPK baik yang
diprakarsai oleh lembaga pemerintah (BKKBN) maupun yang diprakarsai oleh
lembaga non-pemerintah (LSM di bidang kependudukan, Posyandu, Pos pemberdayaan
keluarga/Posdaya, PKK dan lainnya), 6) rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak
diikuti dengan penerimaan atau perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya
sumber daya manusia di bidang KKBPK,
7) rendahnya minat para peneliti di bidang multi ilmu/disiplin untuk melakukan penelitian
dan pencegahan terhadap tingginya angka kematian ibu dan anak, dan 8) rendahnya
sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi terhadap pelaksanaan program KKBPK
sehingga masyarakat kurang sadar untuk mengikuti program KKBPK secara mandiri,
tanpa harus menunggu uluran tangan dari pemerintah.[2]
Dengan membaca
kedelapan permasalah di atas, lingkungan politik mempunyai dampak langsung
dan tidak langsung terhadap proses pelaksanaan program
KKBPK. Bahkan hal ini sering kali dijadikan
sebagai instrumen politik oleh para aktor politik maupun
Pemerintah Daerah untuk menerima atau menolak program politik kependudukan yang
diagendakan Pemerintah Pusat.
Myron Weiner
mengenalkan istilah “political demography”
sebagai sebuah pendekatan untuk melihat bagaimana ukuran, komposisi dan
distribusi penduduk terkait dengan pemerintah dan politik. Faktor-faktor
demografi, seperti besarnya penduduk, komposisi dan distribusi penduduk dapat
mempengaruhi pemerintah dan politik, seperti kinerja pemerintah atau distribusi
kekuasaan. Sebaliknya, politik atau kebijakan yang
dibuat oleh negara dapat juga menjadi determinan dari perubahan-perubahan
kependudukan, seperti besarnya penduduk, komposisi penduduk dan distribusi
penduduk.[3]
Riwanto
Tirtosudarmo[4] menjelaskan bahwa kekuatan pimpinan
era penjajahan Belanda saat melakukan pemerataan penduduk
melalui program kolonialisasi/transmigrasi yang sesungguhnya program tersebut
sangat berorientasi industrialisasi, dapat mengarahkan kebijakan
program transmigrasi, yang menurut perhitungan rasional tidak terlalu
menguntungkan dan tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan penduduk Jawa. Program ini kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan Orde Baru. Di
sini, demografi politik diperlihatkan. Meski kebijakan transmigrasi tidak
rasional secara ekonomis, namun program tersebut
tetap dijalankan karena penguasa negeri lebih mengutamakannya untuk menuju
Indonesia yang terintegrasi, terasimilasi, dan terkoneksi antarsuku. Ini yang
disebut penulis sebagai kebijakan ideologis (ideological policy). Namun, kebijakan ini juga tidak dapat
menunjukkan keberhasilan. Di era penguasa militer, transmigrasi diisukan
sebagai alat untuk menjaga keamanan, terutama daerah terpencil dan perbatasan.[5]
Demikian
juga saat zaman Orde Baru yang otoriter, ketika
Soeharto berketetapan hati untuk mengadopsi kesepakatan global menurunkan laju
pertumbuhan penduduk dunia melalui penyelenggaraan program keluarga berencana
nasional secara intensif, termasuk menerapkan pendekatan intensif dan
disinsentif, pemerintah tidak mengalami kendala apa-apa, karena tidak ada perlawanan yang muncul ke permukaan. Angka
fertilitas 2,6 tidak beranjak selama 5 tahun terakhir era Orde Baru.[6]
Di
sisi lain, Indonesia sejak 1998 telah berubah dari negara otoriter yang sentralis ke negara demokratis
yang desentralis. Perubahan tata politik dan tata-pemerintahan ini mempunyai
implikasi terhadap perubahan arah atau orientasi dalam dinamika kependudukan baik di pusat maupun di daerah. Banyaknya
penolakan dari daerah terhadap program kependudukan yang dijadikan prioritas Pemerintah
Pusat tidak sepenuhnya didukung oleh Pemerintah Daerah, baik dalam membuat
kebijakan/regulasi maupun pada tataran praktik operasional pelaksanaan program
KKBPK.[7]
Permasalahan di atas menuntun peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan “resistensi pemerintah terhadap program
KKBPK. Resistensi tersebut dapat dimaknai dari berbagai segi, mulai penentuan
kebijakan atau politik anggaran, hingga sampai pada implikasi pelaksanaan program
KKBPK di tingkat pemerintah daerah.
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui
penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap
program Keluarga Berencana? 2) faktor-faktor
apakah yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi daerah
terhadap program Keluarga Berencana? 3) bagaimanakah dampak resistensi daerah
terhadap program Keluarga Berencana? 4) bagaimanakah cara mengatasi resistensi
daerah terhadap program Keluarga Berencana?
Landasan
Teori
1.
Konsep Politik Kependudukan Berbasis Keragaman dan
Keindonesiaan
Isu
kependudukan kini kembali menjadi prioritas pemerintah. Sebagaimana diketahui,
setelah reformasi isu kependudukan seperti kehilangan gaungnya. Pertumbuhan
penduduk pasca reformasi diyakini lebih tinggi dibandingkan era Orde Baru. Hal
ini tentu akan berdampak pada berbagai sektor. Oleh karena itu, politik
demografi harus menjadi isu strategis yang dilakukan pemerintah dan harus
mendapatkan sambutan dari pemerintah daerah.[8]
Isu
kependudukan tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga
perlu kembali diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu
kependudukan yang jarang dibahas dan didiskusikan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah akan berdampak pada menurunnya minat Pemerintah Daerah dalam
mendukung program pemerintah tersebut.
Saat ini, perkembangan politik semakin
oligarkis, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara
efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan
menurut kekayaan atau keluarga[9] dan kebijakan pemerintah
semakin didikte oleh kekuatan Pemerintah Pusat. Terbukti, kebijakan pemerintah telah
menimbulkan berbagai ketidakharmonisan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,[10]
yang apabila kebijakan itu menyangkut kependudukan, akan langsung berdampak pada
menurunkan kualitas hidup penduduk Indonesia[11].
Sebagai negara dengan jumlah
penduduk keempat terbesar di dunia dan memiliki keragaman sosial-budaya yang
tinggi memang seharusnya menjadi pertanyaan kita bersama bagaimanakah bangun
politik kependudukan yang seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika
demografis di satu sisi dan keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan
agar tercipta masyarakat adil dan makmur.[12]
Politik Kependudukan
yang berbasis keragaman dan keindonesiaan sangat terkait dengan realitas
sosial-kebudayaan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk. Indonesia sebagai
negara kesatuan republik Indonesia merupakan sebuah format hubungan antara
pusat dan daerah serta antara daerah-daerah yang memungkinkan ter-ejawantahkannya
motto Negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika (Tirtosudarmo, 2014).
Adalah Cliffod Geertz dalam salah
satu tulisannya mengatakan: “Archipelagic in geography, eclectic in
civilization, and heterogonous in culture, Indonesia flourishes when it accepts
and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and
suppresses it..[13]
Sedikitnya ada dua karakteristik
utama dari demografi Indonesia: Pertama,
selain jumlahnya yang besar dan tetap bertumbuh, memiliki penyebaran yang tidak
merata secara geografis. Paradigma pembangunan yang menyerahkan dinamika
ekonomi pada pasar (fundamentalisme pasar) dan strategi ekonomi yang
beriorientasi ke darat (land based.economic strategy) padahal realitas
geografis Indonesia seharusnya mendorong dikembangkannya strategi yang
berorientasi ke laut (maritime based economic strategy) merupakan
penyebab mengapa konsentrasi penduduk terpusat di Jawa.[14]
Kedua, jika pada masa lalu politik kependudukan yang dianut berbasis
pada dominasi negara terhadap warganegara, sehingga yang terjadi adalah
strategi dan program yang berisi rekayasa-rekayasa demografi (demographic engineering) yang
mengandaikan pasifnya warganegara; di masa depan politik kependudukan harus
dibangun dengan asumsi bahwa pemerintah daerah dan penduduk yang ada di
dalamnya adalah warganegara yang aktif
berpartisipasi dalam strategi dan program kependudukan. Secara retorik,
perubahan dalam paradigma politik kependudukan harus dilakukan, dari “rekayasa
demografi” oleh pemerintah pusat menjadi politik demografi yang berbasis
pemerintah daerah.[15]
Secara lebih kongkrit strategi
dan progam kependudukan yang berbasis keragaman dan keindonesiaan di tingkat
pemerintah daerah, perlu dikedepankan oleh pemangku kepentingan di pusat dan
daerah, sehingga ada gayung bersambut, antara kebijakan kependudukan dari
pemerintah pusat yang diaminkan oleh pemerintah daerah, baik pada tataran
kebijakan, penyiapan sumber pendanaan, dan pelaksanaan program baik yang
bersifat nasional yang harus dilaksanakan oleh daerah, maupun program
pemerintah yang harus didukung oleh pemerintah daerah.[16]
2.
Resistensi Daerah terhadap Program Kependudukan dari Pusat
Haynes[17]
berusaha memahami gerakan politik negara
bagian. Heynes mendapatkan pemahaman bahwa gerakan di Negara bagian lebih
disebabkan oleh ketat dan kakunya pengendalian politik dan ekonomi dari negara.
Negera telah memarginalisasikan peran Negara bagian dalam membuat perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan proses menikmati atas pelaksanaan pembangunan oleh
Negara.
Ledakan gerakan politik melalui usaha kolektif di Negara bagian yang
semuanya didalangi oleh kelompok aksi, berusaha untuk menyuarakan dan mengejar
apa yang menjadi tujuan mereka, yaitu memperoleh perubahan yang menguntungkan
bagi kepentingan kolektif. Gerakan
mereka didasari oleh pemahaman mereka tentang apa yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan bagi Negara bagiannya.
Menurut
Haynes, perlawanan administratif yang sangat signifikan dalam mempengaruhi
kebijakan ke depan. Negara tidak akan lagi secara sesuka hati atau
sekehendaknya melakukan program pembangunan yang sifatnya top down.
Haynes
mempunyai keyakinan di mana perlawanan pemerintah daerah (Negara bagian) hadir dengan
sejumlah yang terus bertambah besar, maka ada potensi yang lebih besar bagi
perubahan politik kebijakan pembangunan daripada
yang tidak ada gejolak aksinya.
Eckstein[18]
dalam buku Power and Popular Protes, mengemukan faktor-faktor yang
mendorong pemerintah daerah melakukan perlawanan adalah karena rendahnya distribusi
kekuasaan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan yang menimbulkan perbedaan
kepentingan di antara pemerintah daerah yang berbeda dalam negara.
Scott berpendapat
bahwa pemerintah daerah melakukan perlawanan terhadap dominasi yang menekan
mereka adalah merupakan suatu gerakan menolak hegemoni.[19]
Selanjutnya, Scott melihat pemerintah daerah dalam melakukan perlawanan
terhadap hegemoni negara selalu menggunakan senjata yang mereka miliki. Meskipun
Negara dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat tidak
dapat menguasai pikiran dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah daerah.[20]
Dalam hal ini, Scott menjelaskan bahwa dalam perlawanan ada yang bersifat
sungguh-sungguh dan ada yang bersifat insidental.[21]
Scott juga menjelaskan bahwa resistence adalah semua tindakan oleh para
pemerintah daerah itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak
tuntutan-tuntutan pemerintah.[22]
Menurut Eric Hoffer
penolakan
oleh pemeritah daerah terhadap program hegemoni dicirikan oleh kecenderugan
untuk beraksi.[23] Hal
itu terjadi karena mereka tersingkir dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan. Olson yang
mengatakan bahwa, aksi pemerintah daerah dalam menolak hegemoni pemerintah
pusat sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat program
bagi pemerintah daerah.[24]
Gurr
mengembangkan suatu teori umum mengenai gerakan politik yang didasarkan atas
teori psikologi yang didefinisikan sebagai, semua serangan dalam suatu
komunitas politik terhadap rezim politik, maupun para pejabat atau
kebijakan-kebijakannya.[25]
Menurut asumsi Gurr semua
fenomena di atas termasuk aksi menolak kebijakan pemerintah pusat bersar dari
pikiran para pejabat di daerah.[26] Ketidakpuasan pemerintah daerah yaitu
ketidaksesuaian antara harapan dan
kemampan.[27]
Sementara
itu, menurut Salert[28]
jangan meremehkan teori psikologi dan jangan terlalu melebihkan teori pilihan
rasional dalam memandang aksi penolakan terhadap program pemerintah pusat.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
yang akan digunakan adalah jenis penelitian deskriptif explanatory yaitu penelitian yang menjelaskan atau mendeskripsikan konsep atau
gabungan antara beberapa konsep secara mendetail.[29]
Sedangkan menurut Faisal[30] explanatory research ditujukan untuk menemukan dan
mengembangkan teori sehingga hasilnya dapat
menjelaskan terjadi sesuatu gejala atau kenyataan sosial tertentu.
Penelitian ini
dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian yaitu di Kantor
Gubernur, sekretaris daerah Provinsi, BPS Provinsi, dan DPRD Provinsi
Kalimantan Tengah. Waktu penelitian antara bulan Maret hingga Juli 2016.
Dalam penelitian ini jenis data yang
diperlukan adalah: 1) Data Primer. Data
Primer merupakan data yang diperoleh langsung tanpa perantara orang atau
lembaga lain sebagai pihak ketiga. Data primer ini diperoleh dengan melakukan
wawancara kepada responden. Jenis data primer yang hendak digali dalam
penelitian ini yaitu: bentuk-bentuk resistensi daerah terhadap program KKBPK,
faktor-faktor yang melatarbelakangi dan menyebabkan terjadinya resistensi
daerah terhadap program KKBPK, dampak resistensi daerah terhadap program KKBPK,
dan cara mengatasi resistensi daerah terhadap program KKBPK. 2) Data Sekunder,
merupakan data yang diperoleh melalui orang lain yang berhubungan dengan permasalahan
yang dipecahkan. Data sekunder ini diperoleh melalui cara studi documenter yaitu mengumpulkan dan
mempelajari dokumen organisasi yang terkait dengan tema penelitian ini, seperti
arsip-arsip BKKBN pusat, BPP-KB di daerah, dan dinas kependudukan di daerah.
Informan kunci
dalam penelitian ini adalah: 1) Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2) Kepala BPP-KB Kabupaten
Katingan, 3) Kepala Bappeda Kabupaten Katingan, 4) Kepala BPP-KB Kabupaten
Kapuas, 5) Kepala Bappeda Kabupaten Kapuas.
Adapun informan
kunci di luar pemerintah untuk memperoleh experts
judgment meliputi: 1) LSM di bidang
kependudukan, 2) Dr. Sidiq Usop, M.Si. (Ahli kebijakan puslik, dan ahli
kependudukan di Universitas Palangkaraya), 3) Dr. Dr. Muhammad Busro (ahli
Sosiologi Antropologi)
Informan pendukung di sini
adalah informan yang akan mensupport data pendukung dalam rangka penarikan
kesimpulan yang meliputi: masyarakat peserta KB , dan pihak lain yang relevan.
Untuk
mendapatkan dan mengumpulkan data yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian
ini maka teknik yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) observasi partisipatif
yaitu melakukan penelitian dengan pengamatan langsung dengan cara mendekati subyek
dan objek yang akan diteliti, 2) wawancara Mendalam dilakukan dengan teknik snowballing terhadap informan kunci dan
informan pendukung, 2) telaah
dokumentasi dan kepustakaan dengan cara
mengkaji buku-buku bacaan, dokumen-dokumen, peraturan–peraturan dan ketentuan
undang-undang, serta kebijaksanaan–kebijaksanaan yang berkaitan program KKBPK.
Metode
analisis yang digunakan adalah: (1) analisis deskriptif digunakan untuk
menggambarkan secara jelas karakteristik data penelitian dan (2) analisis kualitatif, dengan empat tahap kegiatan,
mulai dari pengumpulan data, reduksi atau penyaringan data, klasifikasi data, dan penarikan kesimpulan.[31]
HASIL
PENELITIAN
1. Gambaran Umum Persepsi
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terhadap Program KKBPK
Kalimantan
Tengah memiliki luas 157.983 km² (atau
1,2 kali Pulau Jawa 126.700 km2), memiliki
populasi 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721
perempuan dengan kepadatan sekitar 15 jiwa
per Km2. Kalteng mempunyai 13 kabupaten dan 1 kota, , 107
Kecamatan, 1.218 desa, dan 116 kelurahan.
Gubernur saat ini
yaitu Sugianto Sabran dan wakil gubernur Said Ismail. Visi yang diemban yaitu “Kalteng Maju, Mandiri & Adil
Untuk Kesejahteraan Segenap Masyarakat Menuju Kalteng Berkah (Bermartabat,
Religius Kuat, Amanah Dan Harmonis)”.
Misi yang diemban yaitu: 1) pemantapan tata ruang, 2) pengelolaan infrastruktur, 3)
pengelolaan sumber daya air, pesisir & pantai, 4) pengendalian inflasi,
pertumbuhan ekonomi penanggulangan kemiskinan, 5) peningkatan bidang
perekonomian masyarakat menuju Kalteng berkah, 6) pemantapan tata kelola
pemerintah daerah, 7) pendidikan, kesehatan & pariwisata, 8) pengelolaan
lingkungan hidup & sumber daya alam, dan 9) pengelolaan pendapatan daerah.
Membaca misi yang diemban, ternyata
tidak ada satu kata pun yang berkaitan dengan KB, hanya ada kata kesehatan
dengan uraian yaitu a) peningkatan kualitas Sarana dan Prasarana kesehatan
termasuk peningkatan kualifikasi rumah sakit yang ada di Kalimantan Tengah, b)
peningkatan derajat kesehatan masyarakat & pemberantasan narkoba, dan c) peningkatan
kualifikasi Dokter dan Paramedis. Dari tiga uraian di atas, juga
tidak ada satu kata pun yang menyinggung KKBPK.
Di
kalimantan Tengah, urusan KKBPK diserahkan kepada Badan Pemberdayaan Perempuan,
Anak, dan Keluarga Berencana (BPPA_KB) yang beralamat di
Jl. Brigjen Katamso Telp. (0536) 323984, 3221227.
Jl. Brigjen Katamso Telp. (0536) 323984, 3221227.
Tabel 1
Alokasi anggaran BPPA-KB
Kalimantan Tengah
Uraian
|
Alokasi Anggaran (Rp)
|
% dari APBD
|
APBD
|
4.235.177.751.130,00
|
|
Anggaran BPPA-KB
|
14.430.347.117,10
|
0.34
|
Anggaran Khusus untuk kegiatan KKBPK
|
235.000.000,00
|
0,0055
|
Sumber: Bapeda Kalimantan Tengah 2016
Adalah suatu hal
yang sangat mengejutkan, ketika calon Gubernur pada saat kampanye, dan hingga
yang bersangkutan menjabat Gubernur menyatakan dengan terang-terangan tidak
setuju dengan KB. “Kalau saya nikah, maka saya akan punya anak 12.” Bahkan
secara terang-terangan gubernur mengatakan “Gubernur tak ingin ada Kampung KB
di Kalteng.”[32] Pasalnya,
Kalteng sangat luas yakni 1,2 Pulau Jawa, sementara jumlah penduduknya masih kurang.
“Saat ini, Kalteng belum memerlukan program Keluarga Berencana (KB) atau
kampung KB. Saya tidak ingin di Kalteng ada kampung KB dan saya tidak ingin ada
Keluarga Berencana di Kalteng. Kalau di daerah
lain yang penduduknya padat silahkan pakai KB. Kalau di Kalteng,
lahannya masih luas, tanahnya subur, dan provinsi Kalteng adalah Provinsi yang
kaya rasa sumber daya alamnya, namun yang terpenting kita jaga pertumbuhan ekonominya.”
Hal ini akan
berpengaruh terhadap program KKBPK di Provinsi Kalimantan Tengah dan berdampak
pada besarnya dana APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk program KKBPK
(Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga).
Penyataan
Gubernur pada dasarnya juga tidak berbeda jauh dengan pernyataan Sekda Provinsi
Kalimantan Tengah Dr. Drs. Sion Djarian, SH, MH yang mengatakan bahwa, [33]
“Urusan KB ada pada kab/kota, sedangkan di level
Prov. Ditangani oleh BKKBN Perwakilan – Instansi Vertikal. Karena BKKBN ini
merupakan perwakilan pusat dan diatur pusat, sehingga kurang menjadi perhatian
Pemda Propinsi khususnya tentang PLKB. Dalam kaitan dengan prioritas anggaran,
posisi program KKBPK berada pada prioritas terakhir.”
Berkaitan dengan strategi yang dilakukan Sekda untuk menambah
sumberdaya di bidang KB, sesungguhnya:
“Tidak ada strategi khusus, bahkan
pengangkatan khusus untuk Penyuluh Lapangan (PLKB) tidak pernah ada. jumlah
penyuluh dibandingkan dengan jumlah
kecamatan, jumlah desa dan pasangan usia subur. Itu memang diakui sangat tidak
sebanding, mungkin di beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah.”[34]
Berkaitan dengan anggaran yang digunakan untuk
melaksanakan program KKBPK, Sekda Provinsi Kalteng mengatakan bahwa:
“Ini masalah anggaran...Saya pernah jadi
kepala Dinas Kependudukan dan KB di Kabupaten Seruyan, saya melaksanakan kegiatan
dengan dana dari BKKBN pusat saja sangat tidak sebanding dengan besarnya
kegiatan. Ada juga dari APBD, tetapi dari APBD sangat sedikit”[35]
Berkaitan
dengan pelaksanaan program KKBPK yang dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan-Anak,
dan KB, Sekda Provinsi Kalimantan Tengah berpendapat bahwa:
“Sepertinya BKKBN ini
tumpang tindih dengan Dinas Kesehatan, dalam operasionalnya, BKKBN juga selalu
menggunakan tenaga kesehatan, kenapa tidak di Dinas Kesehatan saja anggarannya?
Sangat efektif dan efisien apabila urusan KB menjadi salah satu bidang pada
Dinas Kesehatan”[36]
Berkaitan dengan
Tipe SKPD Badan Pemberdayaan Perempuan-Anak, dan KB di Kalimantan Tengah yang
paling pas menurut Sekda Provinsi
Kalimantan Tengah adalah: “Tipe A lah karena kesadaran hidup bahagia dan sejahtera
cukup tinggi tapi tidak berimbang dengan anggaran .”[37]
Pemahaman
Gubernur yang seperti itu, sebenarnya bukan salah gubernur semata, tetapi,
hanya karena kurangnya advokasi pihak-pihak yang berkaitan dengan KB di
dalamnya termasuk kepala Badan PPA-KB Provinsi Kalimantan Tengah, dan seluruh
Kepala SKPD KB di daerah. Menurut Ahli Sosiologi Antropologi Muhammad Busro,
“Gubernur saat ini belum memahami filosofi KB yang bukan
hanya alat kontrasepsi, atau pembatasan jumlah anak. Gubernur sejak kecil hingga
saat ini selalu dihadapkan pada keberadaan sumber daya alam yang melimpah
dengan jumlah penduduk Suku Dayak yang sangat sedikit, jadi ada benarnya juga
mengatakan hal yang demikian. Namun, sesungguhnya Gubernur belum memahami bahwa
program KKBPK variannya cukup banyak, yang seluruhnya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan keluarga.”[38]
Hasil wawancara
dengan Dr. Usop Sidik, M.Si. ahli sosiologi dan kebijakan publik Universitas
Palangka Raya juga menegaskan bahwa:
“Benar, sumber daya alam di Kalimantan Tengah sangat
banyak, sementara jumlah penduduk sangat sedikit. Tetapi Gubernur harus melihat
realitas, dengan jumlah penduduk yang kurang dari 1 juta saja belum mampu
meningkatkan kesejahteraan, apalagi kalau jumlah kelahiran tidak dibatasi,
tentu tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun.”[39]
Berdasarkan hasil
wawancara tersebut dapat dipahami bahwa Gubernur perlu mendapat pemahaman yang
utuh tentang berbagai program KKBPK di Kalteng, sehingga anggaran sebesar Rp235
juta yang dialokasikan untuk program KKBPK di Kalteng dapat ditingkatkan secara
akselerasi. Besarnya
dana untuk program KKBPK di tingkat Provinsi jauh lebih kecil dibandingkan
dengan besarnya alokasi anggaran KB di kabupaten yang ada di Kalimantan
Tengah.
Secara umum, jumlah
kelahiran, laju pertumbuhan penduduk,
angka kematian ibu, angka kematian bayi, Jumlah akseptor aktif, Jumlah akseptor
baru, jumlah anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana,
dan pagu dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Jumlah kelahiran selama empat tahun (2010-2013) realtif stabil bergerak di
antara angka 33 ribu hingga 34 ribu tetapi ada kecenderungan mengalami
penurunan. jumlah kelahiran tertinggi
pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten barito Timur, dan jumlah kelahiran terendah
pada tahun 2013 yaitu di Kabupaten Seruyan.
Laju
pertumbuhan penduduk (LPP)di Kalimantan Tengah juga mengalami penurunan. Laju pertumbuhan penduduk di Kalimantan tengah dalam tiga tahun (2011-2014)
selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun 2010/2011 laju pertumbuhan
penduduk hanya 2,4 sementara pada tahun 2012-1013 mengalami penurunan menjadi
2,36 dan pada tahun 2013/2014 turun lagi menjadi 2,31. Laju pertumbuhan
penduduk tertinggi pada tahun 2013/2014 yaitu Kabupaten Seruyan dan laju
pertumbuhan penduduk terendah pada tahun 2013/2014 yaitu Kabupaten Pulang Pisau yang hanya 0.6.
Angka kematian ibu
di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014 bahkan
ada kecenderungan naik. Angka kematian ibu
di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan
tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian ibu hanya 62 orang, tahun 2013
naik menjadi 73 orang, dan pada tahun 2014 naik menjadi 101 orang. Angka
kematian ibu tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 20 orang
dan angka kematian ibu terendah pada tahun 2014
yaitu Kabupaten Barito Timur yang hanya
2 orang.
Angka kematian bayi
di Kalimantan Tengah Relatif tinggi dan selama tiga tahun terakhir 2012-2014
bahkan ada kecenderungan turun. Angka kematian bayi
di Kalimantan Tengah dalam tiga tahun (2012-2014) selalu mengalami kenaikan
tiap tahunnya. Pada tahun 2012 angka kematian bayi hanya 602 anak, tahun 2013
naik menjadi 493 anak, dan pada tahun 2014 naik menjadi 313 anak. Angka
kematian bayi tertinggi pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Kapuas yaitu 50 anak
dan angka kematian bayi terendah pada tahun 2014 yaitu Kabupaten Palang Pisau yang hanya 7 anak.
Jumlah akseptor
aktif di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap, hal ini
menunjukkan pasangan usia subur yang baru relatif tidak menjadi akseptor aktif.
Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Jumlah akseptor
aktif di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Kotawaringin
Barat
|
33579
|
36133
|
35924
|
24693
|
33481
|
Kotawaringin
Timur
|
52636
|
57014
|
61294
|
55941
|
58781
|
Kapuas
|
54894
|
56141
|
59044
|
65844
|
65388
|
Barito
Selatan
|
19211
|
20214
|
23683
|
22753
|
21153
|
Barito
Utara
|
20087
|
19364
|
18497
|
25723
|
19681
|
Sukamara
|
8610
|
10867
|
8984
|
10477
|
8589
|
Lamandau
|
11283
|
13585
|
9660
|
9651
|
10094
|
Seruyan
|
19301
|
16822
|
18016
|
17822
|
18631
|
Katingan
|
23079
|
18933
|
27323
|
24493
|
26743
|
Pulang
Pisau
|
14942
|
17941
|
8971
|
12231
|
14369
|
Gunung
Mas
|
14621
|
18816
|
16571
|
16727
|
16966
|
Barito
Timur
|
15372
|
16012
|
18716
|
16512
|
17219
|
Murung
Raya
|
16910
|
12013
|
13332
|
16093
|
12766
|
Palangka
Raya
|
26308
|
27025
|
35388
|
36536
|
29461
|
KALIMANTAN
TENGAH
|
330833
|
340880
|
355403
|
355496
|
353322
|
Sumber : Kalimantan
Tengah Dalam Angka
Tabel di atas
memberikan gambaran bahwa jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah dalam lima
tahun (2010-2014) selalu stagnan, yaitu berkisar 330 ribu s.d. 350 ribu. Pada
tahun 2014 jumlah akseptor aktif di Kalimantan Tengah sebanyak 353.322 orang.
Jumlah akseptor aktif yang paling tinggi yaitu di Kabupaten kapuas, yaitu
sebanyak 65.388 pasangan usia subur, dan jumlah akseptor aktif yang paling
rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu sebanyak 8.589 pasangan usia subur.
Jumlah akseptor baru
di Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun relatif tetap. Hal ini dapat di lihat
pada tabel berikut.
Tabel 3
Jumlah
Akseptor Baru Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Kotawaringin
Barat
|
8275
|
9273
|
9124
|
7870
|
6137
|
Kotawaringin
Timur
|
13227
|
13697
|
13706
|
13485
|
11281
|
Kapuas
|
13449
|
18715
|
19417
|
16410
|
12870
|
Barito
Selatan
|
3932
|
4847
|
4888
|
3819
|
1984
|
Barito
Utara
|
2797
|
3369
|
4114
|
4307
|
2855
|
Sukamara
|
2321
|
2330
|
2188
|
2446
|
1851
|
Lamandau
|
1697
|
2506
|
4091
|
3479
|
2137
|
Seruyan
|
5326
|
5775
|
5371
|
5290
|
2795
|
Katingan
|
5124
|
6230
|
6391
|
10029
|
4402
|
Pulang
Pisau
|
5634
|
3593
|
4516
|
3270
|
2526
|
Gunung
Mas
|
4723
|
7652
|
7910
|
7556
|
4748
|
Barito
Timur
|
3139
|
3941
|
3506
|
2986
|
2867
|
Murung
Raya
|
4251
|
3929
|
3685
|
4660
|
4311
|
Palangka
Raya
|
5814
|
6881
|
8596
|
8512
|
8767
|
KALIMANTAN
TENGAH
|
79709
|
92738
|
97503
|
94119
|
69531
|
Sumber
: Kalimantan Tengah Dalam Angka
Tabel di atas memberikan
gambaran bahwa jumlah akseptor baru di Kalimantan Tengah dalam lima tahun
(2010-2014) selalu fluktuatif. Pada tahun 2014 jumlah akseptor baru di
Kalimantan Tengah sebanyak 69.531 pasangan. Jumlah akseptor baru yang paling
tinggi yaitu di Kabupaten Kapuas, yaitu sebanyak 12.870 pasangan usia subur,
dan jumlah akseptor baru yang paling rendah yaitu di Kabupaten Sukamara yaitu
sebanyak 1.851 pasangan usia subur.
Berkaitan dengan
besar pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) Sub Bidang Keluarga Berencana di Kalimantan
Tengah pada tahun 2016 relatif sangat kecil, karena dari 14 kabupaten kota,
hanya ada dua kab yang mendapat alokasi anggaran di atas satu milyar yaitu Kab
Barito Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kab Pulang Pisau yaitu sebesar
Rp1.253.040.000,00. Secara total, jumlah besar pagu di Kalimantan Tengah hanya
Rp9.142.000,00. Kabupaten yang mendapat alokasi dana terbesar yaitu Kabupaten Barito
Utara sebesar Rp2.087.100.000,00 dan Kabupaten yang mendapat alokasi dana
terkecil yaitu kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Murung Raya yaitu
masing-masing sebesar 231.560.000,00.
Berkaitan dengan besar pagu dana bantuan
operasional keluarga berencana (BOKB) di Kalimantan Tengah pada tahun 2016
relatif sangat kecil, karena hanya sebesar Rp3.623.940.000,00. Kabupaten yang
mendapat alokasi dana dana bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) pada
tahun 2016 yang terbesar yaitu Kabupaten
Seruyan sebesar Rp538.200.000,00 dan Kabupaten yang mendapat alokasi dana
terkecil yaitu kabupaten Murung Raya yaitu sebesar Rp69.150.000,00.
Bebagai bentuk sosialisasi,
internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam
mendorong program KKBPK sudah sangat variatif. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Jenis-jenis sosialisasi,
internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam
mendorong program KKBPK
No
|
Uraian
|
1
|
Pemetaan Urusan Bidang KKBPK di Kab/Kota (UU.23 thn
2014)
|
2
|
Fasilitasi P2D PKB/PLKB (UU.23 thn 2014)
|
3
|
Review Pemetaan Urusan Bidang KKBPK dan P2D PKB/PLKB
(UU.23 thn 2014)
|
4
|
Pengembangan Model-model Program KKBPK melalui
Orientasi Program KKBPK di Kampung KB
|
5
|
Penyusunan analisis parameter dan profil penduduk
kewilayahan Tk. Kab/Kota
|
6
|
Sarasehan Pengendalian Penduduk bagi Pengelola dan
Pelaksana Program KKBPK
|
7
|
Peningkatan Peran Mitra ( LSOM,SOM DAN PT )
|
8
|
Penyediaan data kependudukan melalui Digital Signale
|
9
|
Forum/Pertemuan Penyerasian Kebijakan Pengendalian
Penduduk bersama Mitra Kerja
|
10
|
Penyusunan Grand Design Kependudukan tingkat Kabupaten/Kota
|
11
|
Kerjasama Pendidikan Kependudukan melalui KKN
Tematik
|
12
|
Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial
TNI/POLRI Tk. Provinsi
|
13
|
Pembinaan Kesertaan KB melalui Bhakti Sosial
KB-KES-PKK Tk. Provinsi
|
14
|
Pembinaan Program KKBPK
|
15
|
Sosialisasi Standarisasi Pelayanan KB (UU 23 thn
2014)
|
16
|
Peningkatan Pelayanan KB di Kampung KB
|
17
|
Sosialisasi kebijakan strategi pembinaan ketahanan
keluarga (BKB, BKR, BKL dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
|
18
|
Sosialisasi materi dan informasi pembinaan ketahanan
keluarga (BKB, BKR, BKL, dan PEK/UPPKS Tingkat Prov dan Kab/Kota)
|
19
|
Orientasi Ketahanan Keluarga bagi kader BKB, BKR,
BKL dan UPPKS Tk Kab./Kota
|
20
|
Sosialisasi menjadi Orang tua hebat bagi Pengelola
dan Mitra Kerja
|
21
|
Sosialisasi Mnjadi Orang tua hebat bagi
Kader/Anggota Posyandu, BKB di Provinsi
|
22
|
GenRe Ceria melalui Seni Budaya Tradisional bagi
Remaja Tk. Provinsi
|
23
|
Fasilitasi pembentukan PPKS Tk Kab/Kota (1 Kecamatan
Percontohan di setiap Kabupaten/Kota)
|
24
|
Sosialisasi Optimalisasi Fungsi Balai Penyuluhan
dalam Pengembangan dan Pembinaan PPKS
|
25
|
Sosialisasi BKB Holistik Integratif
|
26
|
Dukungan Operasioal Pembinaan Kelompok BKB Holistik
Integratif
|
27
|
Penguatan dan Pembinaan BKB melalui Peringatan Hari
Keluarga Nasional
|
28
|
Ajang Kreatifitas Remaja Tk Provinsi
|
29
|
GenRe Ceria melalui Seni Budaya bagi Remaja/Generasi
Muda Tk Prov.
|
30
|
Sosialisasi Program GenRe bagi Remaja/Mahasiswa
|
31
|
Sosialisasi GenRe bagi Pengurus PIK R/M
|
32
|
Sosialisasi 8 Fungsi Keluarga
|
33
|
Pembinaan Program Lansia Tangguh
|
34
|
Advetorial Program KKBPK di Media
|
35
|
Cetakan untuk Pendudkung Program KKBPK
|
36
|
Peliputan Pers Program KKBPK
|
37
|
Sosialisasi dan intensifikasi MKJP
Leaflet/Booklet/media adv. below the line tentang seluruh KKBPK
|
38
|
Advokasi dan KIE Pembangunan KKB kepada SKPD KB dan
Mitra Kerja melalui berbagai media
|
39
|
Sosialisasi Advokasi dan KIE melalui Sewa Tempat
Baliho dan Banner
|
40
|
Pengembangan Adv dan KIE below the Line"
tentang keseluruhan Program KKBPK (Seluruh Bidang) di Prov. dan Kab./Kota
|
41
|
Penayangan Informasi KIE Program KKBPK Melalui Media
Cetak dan Elektronik
|
42
|
Pengembangan KIE Kreatif Berbasis Komunitas dan Seni
dan Budaya/Tradisional
|
43
|
Promosi Program KKBPK melalui Cetak Roll Banner dan
Stiker
|
44
|
Promosi Program KKBPK melalui Cetak Umbul – umbul
|
45
|
advokasi dan KIE KKB melalui Mupen
|
46
|
Pertemuan lengkap IMP Tk. Desa/Kelurahan (Pertemuan
PPKBD dan Sub PPKBD)
|
47
|
Fasilitasi Penggerakan Program KKBPK bagi penyuluh
KB/Tim Operasional Tk. Desa (TKBK)
|
48
|
Pembinaan KKBPK bagi masyarakat oleh PPKBD/Kader Tk.
Desa
|
49
|
Pertemuan Kemitraan KKBPK Tingkat Kecamatan (Rakor
Kecamatan)
|
50
|
Pertemuan Kemitraan KKBP Tingkat Desa/Kelurahan
(rakor Desa)
|
51
|
Promosi Program KKB melalui Harganas Tingkat
Nasional
|
52
|
Sosialisasi Pembentukan Kampung KB Tk. Provinsi
(Pilot Project Percontohan setiap kab/Kota)
|
53
|
Pembentukan Kampung KB Tk. Kab/Kota
|
54
|
Peningkatan Kapasitas Mitra Kerja dan Stakeholder
Tk. Kab/Kota dalam Implementasi program KKBPK Lini lapangan
|
55
|
Sosialisasi Penguatan Program KKBPK melalui
Kelembagaan, Program Sarana Prasarana, dan SDM di PRov dan Kab/Kota
|
Sumber: BKKBN Perwakilan Provinsi Kalimanatan Tengah
Berbagai bentuk sosialisasi,
internalisasi, propaganda, persuasi, dan lain-lain yang berperan dalam
mendorong program KKBPK meskipun variasi sudah sangat banyak, akan tetapi
karena jumlah dana yang tersedia untuk masing-masing program relatif kecil,
maka jumlah khalayak sasaran dalam setiap program menjadi relatif terbatas.
Oleh karena itu, dampak ikutannya bagi peningkatan peserta akseptor aktif
maupun akseptor baru belum signifikan.
2. Gambaran
Persepsi Pemerintah Daaerah Kabupaten Kapuas terhadap Program KKBPK
Kabupaten
Kapuas dengan jumlah kecamatan sebanyak 17 Kecamatan,[40]
214 desa, dan 17 kelurahan, berpenduduk sebanyak 329.646 jiwa dengan
klasifikasi 168.139 laki-laki dan 161.507 perempuan, dengan luas wilayah 14.999 km2
atau 1.499.900 ha dengan tingkat kepadatan penduduk 21,97 jiwa/km2 merupakan
daerah dengan penduduk yang masih sangat jarang.[41]
Komoditi
yang paling utama adalah padi, usaha perikanan
laut, plywood, karet (crumb rubber), sabut kelapa dan
anyaman rotan. Belum lagi industri meubeler, hasil kerajinan purun,
perahu kayu, karet sirap ulin dan balok ulin. Sektor
pertambangan juga cukup menjanjikan. Kabupaten ini kaya akan bahan tambang, intan, emas, batubara, mika, kaolin, batu kapur, pasir
kuarsa, dan gambut.
Bupati yang menjabat saat ini yaitu Ir. Ben Brahim S. Bahat, M.T dan wakil
Bupati Ir.
H. Muhajirin, MP (2013-2018). Visi yang diemban yaitu “Terwujudnya
Kabupaten Kapuas yang lebih maju, sejahtera dan mandiri melalui
pembangunan yang adil dan merata serta berkelanjutan.” Adapun misinya yaitu sebanyak 14 misi, namun tidak ada satu apa pun yang
menyangkut KB. Misi yang paling mendekati yaitu Misi ke-10 yaitu Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pelayanan yang mudah, murah, adil dan merata serta
pembangunan fasilitas kesehatan, penempatan tenaga kesehatan, penyediaan
obat-obatan, dan memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat kurang mampu.[42]
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB:
“Dukungan
anggaran APBD dan DAK selalu kurang, sehingga program KKBPK menyesuaikan anggaran
(program follow money). Dampaknya, belum seluruh desa bisa terjangkau program KKBPK, terutama daerah hulu
dan pesisir.”[43]
Saat ini, dengan
adanya berbagai pencerahan dan advokasi dari berbagai kalangan termasuk dari
kepala Badan PP-KB, Bupati Kapuas Ben Bahat sering berbicara pentingnya
perencanaan keluarga sejahtera. Bupati
menjelaskan:
“Keluarga yang bahagia dan sejahtera dapat
terwujud manakala suami istri memiliki perencanaan yang matang dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga.
Oleh karena itu, program yang telah disusun oleh Badan PP-KB harus didorong
untuk direalisasikan, sehingga ledakan kelahiran penduduk dapat dihindari dan
kesejahteraan keluarga semakin meningkat pula.”[44]
Program KKBPK dilakukan untuk penundaan usia
perkawinan untuk wanita minimal 21 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun, anjuran
untuk mempunyai dua anak (2 anak cukup),
dan pengaturan jarak kelahiran (minimal 3 tahun untuk pengembalian kesehatan
rahim ibu), maka akan berdampak pada
tingkat pendidikan anak meningkat, minimal sampai tingkat SMA/sederajat,
mutu SDM meningkat, mampu mendapatkan
pekerjaan layak atau menciptakan lapangan sendiri, dan pada akhirnya tingkat
kesejahteraan anak meningkat.[45]
Selama ini, fokus
pembangunan pada bidang fisik. Dengan pembangunan bidang fisik yang baik, maka
masyarakat akan mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan komunikasi yang
baik. Dampak lebih lanjut, perkembangan perekonomian di Kabupaten Kapuas
menjadi lebih cepat. Akibatnya, pembangunan manusia dan pengangkatan SDM KB
(penyuluh KB dan petugas Lapangan KB) menjadi
terabaikan.[46]
Hingga saat ini,
penyuluh KB di Kabupaten Kapuas hanya sebanyak 17 orang, dan petugas lapangan
KB hanya 4 orang. Pada tahun 1994, jumlah penyuluh KB ada sekitar 90-an orang,
tetapi di antara mereka ada yang pensiun,
ada yang menjabat di jabatan struktural,
ada yang pindah ke dinas (SKPD) lain, dan ada yang pindah daerah.[47]
Badan
pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PP-KB) pada tahun 2016
mendapatkan alokasi dana APBD sebagai berikut.
Tabel 5
Alokasi anggaran BPP-KB
Kabupaten Kapuas
Uraian
|
Alokasi Anggaran (Rp)
|
% dari APBD
|
APBD
|
1.7 trilyun
|
|
Anggaran BPP-KB
|
2.909.060.000,00
|
0.000017
|
Anggaran Khusus untuk kegiatan KB
|
1.017.885.000,00
|
0.0000059
|
Sumber: Bapeda Kabupaten Kapuas 2016
Berbagai program
yang dilaksanakan oleh bagian KB pada Badan PP-KB pada tahun 2016, berdasarkan
hasil penelitian yaitu meliputi: 1) Penyediaan layanan KB dan alat kontrasepsi
bagi keluarga miskin, 2) pelayanan KIE (Komunikasi, informasi, dan Edukasi), 3)
Pembinaan Keluarga Berencana, 4) Program Kesehatan Reproduksi Remaja, 5)
pelayanan pemasangan kontrasepsi KB, 6) pengadaan kontrasepsi dan peralatan
medis, 7) peningkatan perlindungan hak reproduksi individu, dan 8) peningkatan
partisipasi pria alam KB dan Kesehatan Reproduksi.
Adapun, program yang sedang digalakkan di Kabupaten Kapuas adalah pencanangan Kampung
KB di tiap-tiap kecamatan (1 kecamatan terdapat 1 kampung KB)
Mengingat Badan
PP-KB mempunyai empat bidang dan 1 sekretaris, yaitu bidang Keluarga Berencana,
bidang data dan informasi, bidang penggerakan masyarakat, dan Pemberdayaan
perempuan dan anak,[48] maka dana sebesar Rp2.909.060.000,00
bukan murni untuk bidang KB, tetapi juga untuk pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak. Sehingga persentase nya pun akan menjadi setengahnya
dari 0,012% (0,0056%).[49]
Hasil wawancara
dengan Kabag Perencanaan Anggaran Badan Perencanaan Pembangunan (Pappeda) Daerah Kabupaten Kapuas Bp. Abdurrahman,
menyebutkan bahwa, “Tiga perempat APBD
terserap Dinas Pekerjaan Umum, sisinya seperempat APBD untuk 34 SKPD (21 dinas/badan/UPT dan 13 Kecamatan).[50]
Prioritas
pembangunan sarana fisik, pada dasarnya sesuai dengan Misi Pertama (No 1) yaitu
Mempercepat
pembangunan peningkatan jalan, jembatan, irigasi, jalan desa,
jalan usaha tani, pelabuhan, terminal, pasar, listrik, air bersih dan kawasan pemukiman layak huni,
jaringan komunikasi serta infrastruktur lainnya yang bertujuan untuk
meningkatkan perekonomian kerakyatan.
Besar kecilnya anggaran yang diberikan kepada SKPD tergantung cara
pandang Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)[51]
dalam menilai penting tidaknya suatu SKPD.[52]
Selanjutnya anggaran diprioritaskan
sesuai aturan dan kebijakan.[53]
Penanganan program
KKBPK sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh Badan PPA-KB saja akan tetapi juga
dilakukan oleh SKPD lain seperti Dinas Kesehatan, PKK, Dinas Sosial, Pos
Kesehatan Desa, Puskesmas pemerintah, Puskesmas Pembantu, Klinik Bersalin,
Balai Pengobatan, Pondok Bersalin Desa, dan Kecamatan. Mereka tidak hanya “meng-hayo-hayo”
(mengajak) masyarakat mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan KB,
tetapi juga memberikan advokasi dan aksi secara langsung.[54]
Capaian peserta KB
baru komulatif per-mix kontrasepsi pada tahun 2016 dapat ditabulasi sebagai
berikut.
Tabel 6
Capaian peserta KB baru
komulatif per-mix kontrasepsi
No
|
Jenis Alkon
|
Jumlah
|
%
|
1
|
IUD
|
149
|
1,06
|
2
|
4
|
0,02
|
|
3
|
MOW (Metoda Operasi Wanita)
|
65
|
0,46
|
4
|
IMPLANT
|
774
|
5,51
|
5
|
Suntikan
|
7.179
|
51,16
|
6
|
PIL
|
5.603
|
39,93
|
7
|
Kondom
|
258
|
1,83
|
|
TOTAL
|
14.032
|
100
|
Sumber: Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tahun 2016
Berbagai bentuk
alat kontrasepsi (Alkon) yang paling digemari masyarakat antara lain: 1) suntikan (51,16%), 2) PIL (39,93%), 3)
Implant (5,51%), 4) kondom (1,83%),
5) 5) IUD (1,06%), 6)
MOW (0,46%), dan 7) MOP (0,02%).
3. Gambaran
Persepsi Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan terhadap Program KKBPK
Kabupaten
Katingan adalah salah satu bagian dari 14 kabupaten di provinsi Kalimantan
Tengah. Nama Katingan diambil dari sebuah nama aliran sungai yang membentang
dari laut jawa kearah utara hingga mencapai perbatasan Kalimantan Barat.
Berdasarkan UU No 5 tahun 2002 Kabupaten yang beribukota di Kasongan ini
merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Induk Kotawaringin Timur.[56]
Kabupaten katingan
dengan jumlah kecamatan sebanyak 13 Kecamatan,[57]
94 desa, dan 17 kelurahan, berpenduduk sebanyak 156,804 jiwa dengan luas wilayah
17,800 km2 dengan kepadatan 8,23jiwa/km2 merupakan
daerah dengan penduduk yang masih sangat jarang.[58]
Bupati
yang menjabat saat ini yaitu H. Ahmad Yantenglie dengan wakil Bupati Sakariyas,
S.E. Angaran yang dialokasikan untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
sebesar Rp 9.630.000.000,00. Dana yang secara khusus untuk program KKBPK yaitu sebesar Rp2.205.409.000,00[59]
di dalamnya termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp906.000.00,00.[60]
Apabila dibandingkan dengan APBD sebesar Rp1,304 trilyun maka besarnya dana
yang dialokasikan untuk KB hanya sebesar 0,53%.
Secara lebih rinci,
dana program KKBPK tahun 2016 sebesar Rp2.205.409.000,00 diperuntukkan untuk kegiatan sebagai berikut.
Tabel 7
Peruntukan dana KB di Kabupaten
Katingan tahun 2016
No
|
Jenis Kegiatan
|
Angg (Rp)
|
1
|
Program KKBPK
|
865.380.000
|
2
|
Program Kesehatan Reproduksi Remaja
|
163.400.000
|
3
|
Program Pelayanan Kontrasepsi KB
|
581.579.000
|
4
|
Program Pembinaan Peran Serta Masyarakat dalam
Pelayanan KB/KR yang mandiri
|
48.320.000
|
5
|
Program Promosi ibu, bayi, dan anak melalui Kelompok
Kegiatan di Masyarakat
|
30.000.000
|
6
|
Program pengembangan pusat layanan informasi dan konseling KKR
|
29.020.000
|
7
|
Program Penyiapan tenaga pendamping Kelompok Bina
Keluarga
|
92.000.000
|
8
|
Program pengembangan model operasional
BKB-Posyandu-Paud
|
95.300.000
|
9
|
Program pengembangan dan pembinaan Ketahanan Keluarga
|
120.410.000
|
10
|
Program administrasi Perkantoran
|
180.000.000
|
|
JUMLAH
|
2.205.409.000
|
Sumber: Kantor
Badan PP-KB Kab. Katingan 2016.
Pada tahun 2014
dana yang dialokasikan untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB sebesar Rp
7.108.241.402,00, pada tahun 2015 sebesar Rp 8.730.024.141,00 dan pada tahun
2016 sebesar Rp 9.630.000.000,00 sehingga selalu terjadi peningkatan sebesar
kurang lebih 1 milyar.
Bila dikaitkan
dengan visi Kabupaten Katingan
yaitu,”Kabupaten Katingan sehat, cerdas, dan terbuka dalam keadilan dan
kesejahteraan.” Sehat, yaitu kondisi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.
Cerdas yaitu kondisi masyarakat yang cerdas pikirannya, emosinya, dan spritualnya.
Terbuka, yaitu kondisi kabupaten kota yang terbuka untuk investasi, lancar
transportasi, dan komunikasi.
Dari visi
tersebut, ada tiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah,
yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
Pada usia yang
ke-12 ini, berkaitan dengan bidang pendidikan di Kabupaten Katingan telah dilakukan berbagai upaya antara lain membangun
sekolah SD di seluruh desa. Untuk pendidikan SMP berbasis Kecamatan. Begitu
juga SMA/SMK berbasis kecamatan dan kabupaten. Bahkan untuk SMA/SMK telah
dikembangkan SMA/SMK berasrama.[61]
Dengan
peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK)
tingkat SMA maka upaya penekanan angka perkawinan usia dini akan dapat ditekan.
Pada bidang
kesehatan di Kabupaten Katingan telah dilakukan berbagai upaya antara lain pengangkatan
bidan dan tenaga perawat kontrak, sehingga program 1 desa 1 bidan dapat
terwujud, dan pembangunan kabupaten layak anak dengan penerbitan Perda
Kabupaten Layak Anak.[62]
Ketiga sektor
yang menjadi prioritas pembangunan di Kabupaten Katingan pada dasarnya
seluruhnya sangat berkaitan dengan program pembangunan di bidang Keluarga
berencana.
Kabupaten
Katingan memiliki 13 Penyuluh KB dengan perincian 7 orang
diserahkan menjadi pegawai pusat dan
sisanya 6 orang bertahan menjadi pegawai daerah.
Badan
PPA-KB terdiri atas tiga bidang, yaitu 1) bidang KB, 2) bidang
Perlindungan perempuan dan anak, 3) Bidang, pemberdayaan kesejahteraan sosial
(PKS), dan sekretaris.
Berkaitan dengan
kesadaran masyarakat ber-KB di Kabupaten Katingan
sudah cukup tinggi. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala
Badan PP-KB yang menyatakan:
“KB
dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Katingan sudah merupakan kebutuhan.
Masyarakat
sudah punya kesadaran. Terbukti, pada waktu saya melakukan penyuluhan, saya
melontarkan pertanyaan, kira-kira kalau ibu punya anak lima mampu menyekolahkan
anak atau tidak? Mereka menjawab, “Tentu tidak mampu”. Tetapi coba kalau ibu-ibu
hanya mempunyai dua anak, tentu akan mampu menyekolahkan.”[63]
“Dua anak cukup”
dalam program KKBPK hanya merupakan slogan. Kalau mampu mempunyai anak 3, 4,
atau lima silahkan, tetapi jangan menjadi
beban pembangunan. Rubah pola pikir
kalian, kalau anak mau sekolah harus diusahakan.
Berkaitan dengan
perkawinan usia dini sebagai akibat putus sekolah, Ibu Dra. Meliasi, Kepala
Badan PP-KB yang menyatakan:
“Memang
ada sebagian anak yang putus sekolah, tetapi setelah saya datang, saya
bertanya, ternyata penyebabnya bukan karena ekonomi semata, tetapi karena,
pertama, sekolah tidak ada di daerah itu, kalau mau sekolah ke SMA jauh di
Kecamatan, sehingga tidak mungkin bila harus sekolah di sana.”
Kerisauan Ibu
Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB berkaitan dengan banyaknya anak perempuan
nikah pada usia dini di bawah 18 tahun,
yang bersangkutan menyatakan:
“Bila
masa anak-anak sudah menikah maka secara psikologis mereka belum siap sebagai
ibu. Ia masih suka main HP, suka bermain, tetapi mereka harus menjadi ibu.”
Hal ini sesuai
dengan pendapat Bapak Wim, Kepala Bapeda mantan Kepada badan
Pemberdayaan perempuan Anak, yang menyatakan bahwa:
“Kalau
anak perempuan tidak melanjutkan sekolah ke SMA, ada tiga kemungkinan,
pertama, kalau mereka bekerja maka
mereka dapat dikatakan produktif; Kedua, kalau mereka tidak bekerja, maka dapat
dikatakan tidak produktif; ketiga, kalau mereka bergaul akan menjadi selah.”
Pernikahan
usia dini di Kabupaten Katingan dapat dikatakan sangat lumrah, oleh karena itu,
Ibu Dra. Meliasi mengatakan:
“Katingan
merupakan juara II”, dalam hal nikah usia dini di bawah 18 tahun. Oleh karena
itu saya harus turun lapangan, agar kesadaran masyarakat untuk menunda perkawinan usia dini
dapat dikurangi..”
Selanjutnya, langkah-langkah
yang dilakukan oleh Ibu Dra. Meliasi adalah sebagai berikut.
“Langkah
yang dilakukan terhadap masyarakat yang selama ini belum tersentuh adalah
melakukan sosialisasi yang ditujukan kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesadaran, selanjutnya baru dilakukan tindakan pemasangan Implant.
Dalam proses pemasangan implant tidak dilakukan di dalam kamar seperti memasang IUD. Dengan proses
terbuka, masyarakat akan mengetahui kalau proses pemasangan implant tidak sakit
karena disuntik anestesi lokal terlebih dahulu.”[64]
Tabel 8
Berbagai bentuk Alkon yang digemari
masyarakat Kabupaten Katingan
No
|
Jenis Alkon
|
Jumlah
(Januari-Juni 2016)
|
%
|
1
|
IUD
|
14
|
0,36
|
2
|
0
|
0
|
|
3
|
MOW (Metoda Operasi Wanita)
|
58
|
1,53
|
4
|
IMPLANT
|
98
|
2,58
|
5
|
Suntikan
|
960
|
25,34
|
6
|
PIL
|
460
|
12,14
|
7
|
Kondom
|
2.198
|
58,02
|
|
TOTAL
|
3.788
|
100
|
Sumber: Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tahun 2016
Berdasarkan
tabel di atas, berbagai bentuk alat kontrasepsi (Alkon) yang digemari
masyarakat Kabupaten Katingan berdasarakan data hasil penelitian antara
lain: 1) kondom (58,02%), 2) suntikan (25,34%), 3) Pil (12,14%), 4) Implant (2,58%),
5) MOW (1,53%),
6) IUD (0,36%), dan 7) MOP (0%). Setiap alkon mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Berkaitan
dengan keberpihakan Bupati Katingan terhadap program KKBPK dapat dirunut
pernyataan Kepala Badan PPA-KB, Dra. Meliasi yang mengatakan:
“Pada awalnya, Bupati tidak begitu
respon dengan program KKBPK. Karena beliau belum diadvokasi. Begitu juga
Gubernur yang mengatakan, Kalimantan Tengah belum membutuhkan kampung KB,
karena beliau belum pernah mendapatkan pemahaman dari Kepala Perwakilan
BKKBN. Dengan kata lain, Kepala Perwakilan
BKKBN belum tanggap.”[66]
Hal
ini didukung oleh pendapat kepala Bappeda,
Wim, SE. M.M. yang mengatakan bahwa:
“Pernyataan
Gubernur yang menolak kampung KB, seharusnya jangan dianggap sebagai hambatan,
tetapi harus bisa menjadi peluang. Yang kita usahakan atau kita jaga adalah
“jangan cepat kawin.” Jadi perlu “pendewasaan usia perkawinan”.”[67]
Berkaitan
dengan sikap Bupati Katingan terhadap Program KKBPK, menurut Dra. Meliasi sebagai berikut.
“Bupati
bukan tidak setuju, atau tidak mau melaksanakan program KKBPK, tetapi beliau tidak
tahu. Kepala Badan PP-KB yang selama ini, tidak pernah memberikan advokasi
kepada Bupati, bahwa kalau ingin keluarga berkecukupan, harus diberikan
penyuluhan sejak dini, sejak anak di dalam kandungan, dengan diberikan layanan
kesehatan, layanan lain yang berkaitan dengan program kesejahteraan ibu dan
anak.”[68]
Strategi
yang ditawarkan oleh Kepala Bappeda Kabupaten
Katingan, Wim, S.E., M.Si. yaitu:
“Paradigma pengendalian
penduduk” dengan alat kontrasepsi jangan ditonjolkan kepada Bupati dan Gubernur. Paradigma
yang perlu ditonjolkan dalam program KKBPK adalah “Paradigma Pelayanan”.”[69]
Lebih lanjut,
Wim menjelaskan keterkaitan antara putus sekolah dan perkawinan usia dini
sebagai berikut:
“Angka
kelangsungan sekolah hanya 8,9 tahun, artinya masih ada siswa yang tidak lulus
sekolah SMP, sehingga akan meningkatkan angka perkawinan usia dini. Dengan
tingginya angka perkawinan, akan meningkatkan kebutuhan alkon.”[70]
Dengan
adanya advokasi tersebut, Bupati merasa tergugah, sehingga pada tahun 2016
BPPA-KB mendapat tambahan alokasi dana sebesar 350 juta untuk sosialisasi dan
penyuluhan KB di daerah pedalaman yang selama ini belum tersentuh oleh program
KKBPK. Dengan demikian tidak ada daerah
yang sama sekali belum tersentuh oleh program KKBPK.
Program KKBPK
yang ada di Kabupaten Katingan pada
dasarnya juga sama dengan di Kabupaten Kapuas, hanya saja di Kabupaten Katingan
lebih variatif kegiatannya, karena ada 17 program 68
kegiatan.[71]
Menurut Kepala Bappeda,
selain kegiatan di atas masih ada dua kegiatan yaitu: 1)
kampung KB, desa model (26 desa) dengan Peraturan Bupati (Perbup) desa model, 2)
pengembangan Kabupaten Layak anak dengan leading Sektor Bappeda dan sekretaris
Kepala Badan PPA-KB
Pihak yang
terlibat dalam program KKBPK yaitu, BKKBN Perwakilan Kalimantan Tengah, Dokter,
Bidan, PLKB, Petugas
KB, Pemberdayaan Perempuan
dan Keluarga Berencana
Daerah (PPKBD), kader, tokoh masyarakat,
Tim penyuluh (TP), Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Kelurga penggerak
PKK KB, Kelompok UPPKS, BKB terintegrasi PAUD dan Posyandu.
PEMBAHASAN
1. Memahami
Realitas di Lapangan
Visi Provinsi
Kalimantan tengah yaitu: “Kalteng Maju, Mandiri & Adil Untuk Kesejahteraan Segenap Masyarakat
Menuju Kalteng Berkah (Bermartabat, Religius Kuat, Amanah Dan Harmonis)” dengan Misi: 1) pemantapan tata ruang, 2) pengelolaan infrastruktur, 3)
pengelolaan sumber daya air, pesisir & pantai, 4) pengendalian inflasi,
pertumbuhan ekonomi penanggulangan kemiskinan, 5) peningkatan bidang
perekonomian masyarakat menuju Kalteng berkah, 6) pemantapan tata kelola
pemerintah daerah, 7) pendidikan, kesehatan & pariwisata, 8) pengelolaan
lingkungan hidup & sumber daya alam, dan 9) pengelolaan pendapatan daerah.
Visi Kabupaten Kapuas
yaitu “Terwujudnya Kabupaten Kapuas yang lebih
maju, sejahtera dan mandiri melalui
pembangunan yang adil dan merata serta berkelanjutan.” Adapun misinya yaitu sebanyak 14 misi. Misi yang paling mendekati program
KKBPK yaitu Misi ke-10 yang menyatakan, “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pelayanan yang mudah, murah, adil dan merata serta pembangunan
fasilitas kesehatan, penempatan tenaga kesehatan, penyediaan obat-obatan, dan
memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat kurang mampu.”
Visi Kabupaten Katingan yaitu ”Kabupaten
Katingan sehat, cerdas, dan terbuka dalam keadilan dan kesejahteraan.” Sehat,
yaitu kondisi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. Cerdas yaitu kondisi
masyarakat yang cerdas pikirannya, emosinya, dan spritualnya. Terbuka, yaitu kondisi
kabupaten kota yang terbuka untuk investasi, lancar transportasi, dan
komunikasi. Dari visi tersebut, ada tiga sektor yang menjadi prioritas
pembangunan pemerintah daerah, yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan
infrastruktur.
Membaca visi dan
misi di atas, ternyata bentuk perlawanan terhadap program KKBPK yang pertama
dilakukan oleh daerah adalah, tidak memasukkan kata keluarga berencana dalam
Visi maupun misi daerah. Dengan tidak ada visi misi yang berkaitan KB maka
tidak ada daerah yang memprioritaskan program KKBPK dalam pembangunan di
daerahnya.
Selama ini, fokus
pembangunan pada bidang fisik. Menurut pemahaman pemerintah
daerah, dengan pembangunan bidang fisik yang baik, maka masyarakat akan
mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan komunikasi yang baik. Dampak lebih
lanjut, perkembangan perekonomian di daerah menjadi lebih cepat.
Dengan paradigma
seperti itu, anggaran untuk KB sangat minim, program KKBPK terabaikan, pembangunan
manusia termarginalkan, pengangkatan SDM KB (penyuluh
KB dan petugas Lapangan KB) menjadi terabaikan, banyak masyarakat yang tidak
tersentuh program KKBPK, tingkat kesehatan ibu dan anak akan menurun, tingkat
pendidikan anak tidak naik, dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan
menurun.
Apabila
dibandingkan dalam bentuk tabel, perbandingan antara dana untuk KB dan APBN
antara provinsi,
kabupaten Kapuas, dan
Katingan akan tampak sebagai berikut.
Tabel 9
Alokasi anggaran KB
dibandingkan APBD
No
|
Kabupaten
|
Anggaran KB (Rp)
|
APBD (Rp)
|
% angg. KB dg
APBD
|
1
|
Provinsi Kalteng*
|
235.000.000,00
|
4,2 Trilyun
|
0,0000006
|
2
|
Kapuas**
|
1.017.885.000,00
|
1,7 Trilyun
|
0,0000059
|
3
|
Katingan **
|
2.205.197.000,00
|
1,3 trilyun
|
0,0000058
|
Sumber: *) Sekda Provinsi Kalteng
**) Bapeda Kab Kapuas dan Katingan 2016
Tabel di atas
memberikan informasi bahwa persentase besarnya anggaran KB dibandingkan APBD
ternyata masih kurang dari 1%. Hal ini menguatkan bahwa keberpihakan pemerintah
terhadap program KKBPK relatif sangat minim. Dengan Kata lain, program KKBPK
dianggap belum atau tidak relevan dengan tuntutan dan kebutuhan daerah.
Mengingat, kebutuhan daerah yang sangat urgen/vital yaitu pembangunan
infrastruktur.
Ada tiga sektor
yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah daerah, yaitu bidang kesehatan,
pendidikan dan infrastruktur. Ketiga sektor yang menjadi prioritas pembangunan
di Kabupaten Katingan pada dasarnya seluruhnya sangat berkaitan dengan program pembangunan
di bidang Keluarga Berencana. Apabila
keterkaitan itu digambarkan dalam bentuk diagram akan tampak sebagai berikut.
Diagram 1
Keterkaitan antara program prioritas
pembangunan dalam mendukung
Program KKBPK
Pembangunan di
bidang pendidikan dengan mewujudkan Perda wajib belajar 12 tahun, akan mampu
mengurangi atau menekan perkawinan usia dini.
Begitu juga
pembangunan di bidang infrastruktur baik jalan jembatan, komunikasi, jumlah
pembangunan unit baru sekolah SMP dan SMA hinga kecamatan akan memudahkan siswa
bersekolah hingga SMA. Akses tempat tinggal siswa dan tempat sekolah
terjangkau, putus sekolah menurun, angka perkawinan dini menurun. Hal ini juga
akan sangat berkaitan dengan upaya mendewasakan usia perkawinan. Dengan jalan
dan jembatan yang baik, maka upaya masyarakat untuk mendapatkan layanan
kesehatan ke Puskesmas maupun rumah sakit menjadi mudah, cepat, dan murah.
Begitu juga dengan infrastruktur komunikasi yang baik, maka upaya pemerintah
untuk melakukan advokasi, persuasi, dan aksi di bidang KB akan menjadi mudah.
Pembangunan di
bidang kesehatan ibu dan anak, juga secara langsung akan sangat mendukung
program keluarga berencana. Dengan adanya program satu desa satu bidan, akan
mampu memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak secara cepat, dekat, dan
murah. Pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan bina keluarga sejahtera, bina
keluarga lansia, bina keluarga remaja, akan menjadi mudah untuk direalisasikan.
Dengan demikian,
prioritas pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
seluruhnya sangat mendukung program keluarga berencana. Apabila digambarkan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan KB baik yang ada
di Kabupaten Kapuas maupun di Kabupaten Katingan adalah sebagai berikut.
Diagram 2
Model Peningkatan Keberhasilan
KB
Melihat diagram di
atas, upaya keluarga berencana sejak remaja sangat diutamakan, terbukti setidaknya
ada empat kegiatan yang secara khusus ditujukan kepada generasi muda
yaitu: 1) Kesehatan reproduksi remaja
(KRR), 2) Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR), 3) Bina Keluarga
Remaja, dan 4) Generasi Berencana.
Program KKBPK yang
dilakukan untuk penundaan usia perkawinan untuk wanita minimal 21 tahun dan
laki-laki minimal 25 tahun sesungguhnya berdampak pada pembatasan jumlah anak,
dan pengaturan jarak anak (minimal 3 tahun) akan berdampak pada pembatasan
jumlah anak juga. Pada akhirnya, tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Keseluruhan
uraian itu apabila digambarkan akan tampak sebagai berikut.
Diagram 3
Keterkaitan
antara program KKBPK
dengan tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Program
KKBPK yang dilaksanakan pada era ORDE BARU tetapi tidak dilaksanakan pada Era
saat ini, padahal program tersebut sangat bermanfaat, antara lain: 1) program
UPPKS tidak dilaksanakan secara maksimal karena tidak ada dukungan anggaran
dari BKKBN, b) pengadaan sarana transportasi sungai seperti kelotok dances
untuk kegiatan penyuluhan KB, dan 3) Sarana Komunikasi seperti Single-sideband modulation (SSB) atau sistem teknologi radio
untuk koordinasi di daerah wilayah yang tidak ada sinyal atau tertinggal
terpencil untuk penyuluh KB.
Keunikan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan program
KKBPK yang tidak ada di daerah lain antara lain: 1) Pembentukan Desa Model KB, 2) Penyuluhan
tentang alat kontrasepsi KB modern, 3) Pendewasaan Usia Perkawinan, 4)
Penyuluhan Bahaya Narkoba, 5) pelayanan KB Gratis bagi PUS di daerah GALCIL
(tertinggal terpencil) setiap tahun, dan 6) sosialisasi Kelangsungan Hidup Ibu
Bayi dan Anak (KHIBA).
Berbagai
alasan masyarakat menolak ikut ber-KB antara lain: 1) adanya pendapat yang
mengatakan penggunaan alat kontrasepsi KB dapat menimbulkan efek samping
seperti pusing, mual, perdarahan dan lain–lain, 2) alat kontrasepsi KB dapat
menyebabkan kegemukan, 3) takut jika di kemudian hari ingin hamil lagi, akan
kesulitan karena rahim terlanjur kering dan tidak bisa melakukan pembuahan, 4)
masih adanya beberapa orang yang menganggap penggunaan alat kontrasepsi KB
melanggar aturan agama, 5) masih adanya anggapan masyarakat “Banyak Anak Banyak
Rejeki,” 6) luas daerah Kabupaten Katingan masih tidak sebanding dengan jumlah
penduduknya yang masih sedikit, 7) takut jika
terjadi efek samping penggunaan alat kontrasepsi, 8) alat kontrasepsi dapat membuat badan menjadi gemuk, dan 9) penggunaan alat kontrasepsi dapat menimbulkan akibat negatif seperti
pusing, perut mual dan sebagainya
Kendala
yang dialami daerah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat ikut KB, antara
lain: 1) adat dan budaya masyarakat, 2) sebagian masyarakat masih beranggapan
luas wilayah Kabupaten Katingan tidak sebanding dengan
jumlah penduduk yang masih sedikit, 3) belum semua desa (161 desa) mendapatkan
sosialisasi dan advokasi KB, 4) kurangnya kelompok / IMP (sebagai tempat
konseling, 5) pemanfaatan provider terlatih belum optimal, 6) terbatasnya KIE,
Promosi, dan Sosialisasi Pelayanan KB Metode Operatif, 7) pemanfaatan sarana
pelayanan KB belum optimal, 8) sangat minimnya tenaga lapangan (PKB/ PLKB ), 9)
kurangnya dukungan dari Institusi Masyarakat, 10) sebagian wilayah sulit
dijangkau, 11) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
penggunakan KB, 12) menganggap program KKBPK
bertentangan dengan budaya masyarakat, 13) banyak masyarakat yang masih memegang paham bahwa banyak anak banyak rejeki
Langkah
yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengatasi kendala tersebut antara lain:
1) melakukan pendekatan tokoh formal dan informal (tokoh agama, tokoh
masyarakat), 2) melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang program KKBPK yang
tidak hanya menyerukan slogan “2 Anak Cukup” namun secara holistik lebih ke
Ketahanan Keluarga Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera, Sehat dan
Berkualitas, 3) melakukan penyuluhan kepada calon akseptor dengan segala
pengertian yang bisa dipahami tahap demi tahap agar masyarakat mau menjadi
akseptor KB, 4) selalu memberikan pelatihan kepada bidan agar selalu belajar metode
terbaru dalam hal pelayanan, 5) selalu membimbing
kader agar selalu semangat dalam memberikan pengertian kepada calon akseptor.
Metode ber–KB yang dilakukan oleh masyarakat
secara alami (dengan kearifan lokal) yang diyakini mempunyai tingkat
keberhasilan yang tinggi antara lain: 1) MAL (Metode Amenorea Laktasi), 2)
senggama terputus, 3) metode kalender (Pantang Berkala), dan 4) menggunakan
obat tradisional yang menggunakan bahan akar tanaman dan kayu, 3) sistem kalender, 4) senggama
terputus, 5) minum jamu herbal peninggalan nenek moyang yang sudah diwariskan secara
turun-temurun.
2. Bentuk-bentuk
resistensi daerah terhadap program Keluarga Berencana
Berdasaarkan
hasil wawancara dengan Pejabat Pemerintah
Daerah, Pejabat
BKKBN Provinsi, DPRD Provinsi, dan narasumber
dapat dipahami bahwa setiap upaya hegemoni yang dilakukan oleh negara, termasuk
hegemoni dalam penyusunan program KKBPK, akan mendapat “penolakan”[72]
dari pemerintah daerah. Penolakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, bukan bertujuan untuk membangkang terhadap program nasional
tersebut, akan tetapi, hanya karena pemerintah daerah punya program lain yang
lebih urgen harus diselesaikan dibandingkan program KKBPK yang sudah
“ditangani” langsung oleh pemerintah pusat. Jadi menurut
nara sumber (informan kunci), Pemerintah Daerah
dapat mengalokasikan anggaran untuk program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan
masyarakat, pendidikan, pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan
pegawai, dan program propoor lainnya.[73]
Menurut informan
kunci lainnya, bentuk penolakan pemerintah daerah terhadap Program
KKBPK diwujudkan dalam bentuk yang sangat halus seperti
penganggaran Program KKBPK yang sangat minim, hanya kurang dari 1% dari keseluruhan APBD. Hal ini tentu tidak
sebanding dengan banyak kegiatan yang harus dilakukan dalam mendukung
mega-program yang dicanangkan oleh
pemerintah pusat, sehingga tentu, jumlah anggaran yang hanya kurang dari 1% tersebut tidak mencukupi
ketika harus melakukan
perencanan, pelaksanaan, evaluasi, dan
monitoring program KKBPK.[74]
Proses
penolakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah diawali oleh politik kebijakan
anggaran yang disetujui oleh DPRD dalam penyusunan APBD di daerah, sehingga
beruntun dengan minimnya jenis kegiatan yang bisa digunakan untuk mendukung
program Pemerintah Pusat.
3.
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Resistensi
Berdasarkan
hasil penelitian dan perenungan yang mendalam, faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya resistensi, dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pola hubugan yang tidak seimbang
antar elemen pemerintah daerah dalam hal pelaksanaan program keluarga berencana yang
mengakibatkan banyak hal, antara lain: 1) alokasi dana yang diajukan oleh pemerintah daerah tidak
disetujui oleh DPRD, 2) dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program
keluarga Berencana menjadi minim, 3) banyak kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan program KKBPK tidak mendapat alokasi dana yang mencukupi, 4) Sumber
daya (sarana dan prasarana) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program KKBPK
menjadi minim, 5) SDM yang ahli di bidang KB menjadi minim.
Kedua, telah terjadi pola hubungan
yang tidak seimbang antar-elemen pemerintah
daerah, yang dibuktikan oleh rendahnya koordinasi antar pemangku kepentingan kebijakan kependudukan. Masalah
kependudukan seolah-olah hanya menjadi tanggungjawab dan monopoli BKKBN semata.
Ketika peran lembaga-lembaga non pemerintahan, seperti DPRD, dan partai politik, menjadi semakin besar, mau
tidak mau peran dan orientasi lembaga pemerintah harus mengikutsertakan mereka
dalam setiap membuat kebijakan, termasuk kebijakan di bidang kependudukan (Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015). Sayangnya, keberpihakan pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
(DPRD) di dalamnya termasuk partai politik terhadap
pelaksanaan program KKBPK.
Ketiga,
keterlibatan atau kepedulian organisasi sosial
kemasyarakatan non-pemerintah (LSM, organisasi kepemudaan, organisasi
keagamaan, darmawanita) terhadap pelaksanaaan program KKBPK yang rendah.
Mayoritas organisasi tersebut lebih lebih tertarik pada aspek lain yang lebih
mendatangkan uang dibandingkan harus mengurusi aspek kependudukan yang notabene kering atau minim dalam hal
pendanaan.
Keempat,
rendahnya motivasi advokasi pelaksanaan program KKBPK oleh lembaga pemerintah.
Advokasi pelaksanaan program KKBPK yang dilakukan oleh lembaga pemerintah
relatif jarang, kalau tidak boleh mengatakan tidak pernah. Advokasi hanya
dilaksanakan oleh RT, RW, dan ketua PKK tingkat desa, dalam hal ini isteri
kepala desa.
Kelima,
penolakan halus terhadap pelaksanaan program KKBPK baik yang diprakarsai oleh
lembaga pemerintah maupun yang diprakarsai oleh lembaga non pemerintah
(Posyandu, Pos pemberdayaan keluarga/Posdaya, PKK). Mereka menganggap urusan
pelaksanaan KB diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Keenam,
rendahnya jumlah penyuluh KB, yang tidak diikuti dengan penerimaan atau
perekrutan kader penyuluh KB, termasuk rendahnya mutu sumber daya manusia di
bidang KB. Secara kuantitas jumlah mereka sangat kurang, sementara secara
kapabilitas mayoritas para penyuluh masih sangat rendah. Sekali lagi, rendahnya
mutu para penyuluh lebih banyak disebabkan oleh rendahnya dukungan lembaga
pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan regulasi pelaksanaan Program
KKBPK.
4.
Dampak Resistensi Daerah terhadap Program KKBPK
Dampak
resistensinya adalah kenaikan angka pertambahan penduduk secara signifikan. Akibat langsung atas resistensi tersebut, seluruh program KKBPK, hanya
mengandalkan dana dari pusat, sementara itu dana penyertaan dari daerah sangat
minim. Seluruh rangkaian kebijakan/politik anggaran tersebut menyebabkan
mandegnya program pemerintah di bidang kependudukan.
Realitas adanya
instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran,
telah menyebabkan dampak yang sangat luas terutama yang berkaitan dengan
pelaksanaan program KKBPK, mulai dari: 1) penyuluhan program KKBPK, 2)
pelatihan tim penyuluh KB, 3) pengadaan sarana dan prasaran KB, 4) pengadaan
bahan habis pakai, 5) perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta
tindak lanjut pelaksanaan program KKBPK seluruhnya akan berjalan ditempat.
Rendahnya
dukungan lembaga pemerintah dan DPRD dalam menyiapkan: 1) regulasi pelaksanaan program
KKBPK berdampak pada rendahnya anggaran yang bisa digunakan untuk pelaksanaan program
KKBPK, 2) kontribusi BKKBN dan Dinas Kesehatan
dalam mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan model penurunan
tingginya angka kematian ibu dan anak juga sangat terbatas, 3) rendahnya
sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi pelaksanaan Program
KKBPK.
Dampak di atas,
berdampak lagi pada: 1) rendahnya kuantitas dan kapabilitas penyuluh KB di
lapangan, 2) rendahnya inisiatif masyarakat untuk mengikuti program KKBPK
secara mandiri.
Dampak tersebut berimplikasi
pada dampak berikutnya yaitu: 1) masyarakat
menjadi semakin jauh terhadap program KKBPK, 2) tingginya angka kematian ibu
dan anak. Dengan kata lain, berbagai kasus kematian ibu dan anak belum bisa
diturunkan.
5. Strategi
Mengatasi Resistensi Daerah terhadap Program KKBPK
Strategi
mengatasi resistensi daerah dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, perlu adanya koordinasi yang inten antara pusat dan daerah
program Keluarga Berencana mendapat dukungan yang maksimal dari daerah.
Kedua, politik
demografi harus menjadi isu strategis yang harus dilakukan Pemerintah
Pusat dan sedapat mungkin mendapatkan
sambutan dari Pemerintah Daerah.
Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
yang dilakukan oleh IPADI[75] bahwa politik demografi harus menjadi isu
strategis yang dilakukan pemerintah dan harus mendapatkan sambutan dari Pemerintah
Daerah.
Ketiga, Isu kependudukan
tentu harus dimaknai bersama sebagai isu yang penting sehingga perlu kembali
diangkat dan menjadi prioritas utama di setiap daerah. Isu kependudukan yang
jarang dibahas dan didiskusikan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah
Daerah akan berdampak pada menurunnya
minat pemerintah daerah dalam mendukung program pemerintah tersebut.
Keempat, bangun politik kependudukan yang
seharusnya dikembangkan di masa depan agar dinamika demografis di satu sisi dan
keragaman budaya di sisi lain dapat diselaraskan agar tercipta masyarakat adil
dan makmur.
Kelima, ketatnya pengendalian politik dalam bentuk
regulasi oleh pemerintah pusat menyebabkan partisipasi pemerintah daerah
terhadap program itu menjadi melemah. Cara mengatasinya, dalam setiap tahapan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, monitoring dan evaluasi, serta
pemanfaatan hasil seluruhnya melibatkan pemerintah daerah. Dengan demikian,
pemerintah daerah merasa dilibatkan dan diikutsertakan dalam seluruh rangkaian
program pemerintah tersebut.
Dampak adanya
instabilitas politik anggaran yang diwujudkan dalam konflik politik anggaran
pada dasarnya sesuai dengan temuan Busro yang menyatakan bahwa dampak negative
dengan rendahnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah terhadap
program KKBPK akan bersifat yang sangat luas dan berdampak jangka pendek,
menengah, dan panjang.
Simpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan dapat
disipulkan sebagai berikut.
1. Bentuk perlawanan terhadap program KKBPK
yang pertama dilakukan oleh daerah adalah, tidak memasukkan kata keluarga
berencana dalam visi maupun misi daerah, sehingga tidak ada daerah yang memprioritaskan Program
KKBPK dalam pembangunan di daerahnya. Selama
ini, fokus pembangunan pada bidang pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur. Pembangunan
di bidang pendidikan dengan mewujudkan Perda wajib belajar 12 tahun, pembangunan
unit baru sekolah SMP dan SMA hingga tingkat kecamatan akan mampu mengurangi
atau menekan perkawinan usia dini. Begitu juga pembangunan di bidang
infrastruktur baik jalan, jembatan, puskesmas, rumah sakit, dan jaringan
komunikasi, yang baik, maka upaya masyarakat untuk mendapatkan layanan
kesehatan menjadi mudah, cepat, dan murah. Begitu juga dengan infrastruktur
komunikasi yang baik, maka upaya pemerintah untuk melakukan advokasi, persuasi,
dan aksi di bidang KKBPK akan menjadi mudah.
2. Faktor-Faktor yang melatarbelakangi terjadinya resistensi
yaitu karena adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah
untuk membuat skala prioritas pembangunan, yang lebih mengutamakan program
pembangunan infrastruktur. Dengan adanya sumber daya alam yang luas serta
jumlah penduduk yang masih sangat sedikit membuat kepala daerah, kurang setuju
dengan berbagai program KKBPK terutama yang berkaitan dengan alat kontrasepsi atau
pembatasan jumlah anak.
3. Dampak resistensinya adalah: 1) tidak ada pengangkatan
tenaga PNS atau kontrak baru yang ditugaskan untuk mengurusi KKBPK bahkan PNS
PLKB banyak yang ditugaskan di tempat lain atau diangkat dalam jabatan
struktural di luar BPP-KB, b) tidak semua masyarakat dapat menerima fasilitas
program KKBPK baik dalam bentuk penyuluhan, persuasi, bantuan layanan,
pemberian alat kontrasepsi, c) tingkat kesehatan dan kesejahteraan keluarga
menurun.
4. Strategi mengatasi resistensi daerah: a) perlu adanya advokasi
yang intensif dari semua kalangan khususnya kepada kepala daerah sehingga
pemahaman kepala daerah terhadap Program KKBPK menjadi terbuka, b) perlunya
koordinasi antara pusat dan daerah sehingga program KKBPK mendapat dukungan
yang maksimal dari daerah.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas diharapkan: 1) ke depan pemerintah hendaknya
selalu melaksanakan program sosialisasi, publikasi, dan internasilisasi
pelaksanaan program KKBPK agar kesadaran para pimpinan pemerintah daerah dan masyarakat
untuk melaksanakan program KKBPK menjadi meningkat kembali, 2) pemerintah pusat, BKKBN Pusat, Pemerintah
daerah, BKKBN perwakilan di daerah, penyuluh KB, petugas lapangan KB, bidan
desa, dan semua pihak yang terkait dalam
melaksanakan program KKBPK hendaknya dapat bekerja secara maksimal, sehingga mampu
meminimalisasi resistensi program KKBPK.
DAFTAR PUSTAKA
Busro, Muhammad. 2016. “Politik Kependudukan
di Indonesia.” Makalah, Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten
Faisal,
Sanapiah. 1992. Peneliti Kualitatif:
Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang: UM Press.
Faturochman dan Agus Dwiyanto, 2015. Menggagas
kependudukan baru, dalam buku, Reorientasi Kebijakan Kependudukan, diunduh dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/BUKU
tanggal 30 Maret 2016
Gurr, Ted Robert. 1970. Why Man Rebel, (Princeton, NJ: Princeton University Press
Haynes, Jeff. 2000. Demokrasi
dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum
Terpinggir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hoffer, Eric.
1988. Gerakan Massa, Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Oligarki
Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia
(Ipadi). 2013. Manipulasi Data
Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560
tanggal 1 April 2016.
Kalteng Pos. 2015. Gubernur tak Ingin ada kampong KB di Kalteng. 7 Juni
2015
Kalteng Pos. 2015. Angka Kematian Bayi Meningkat. 21 Agustus 2015 halaman 17
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, dan
Johnny SaldaƱa. 2008. Qualitative Data
Analysis: A Methods Sourcebook. Edisi 3. Los Angeles: Sage Publication.
Mas’oed, Mohtar. 2000. Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK
UGM
Rohani,
2015. Dampak Rendahnya Partisipasi Masyarakat ber-KB Mandiri, Makalah, Lokhsumawe: Program Pascasarjan
Universitas Malikussaleh (Unimal)
Salert, Barbara. 1976. Four Theories Revolutions and
Revolutionaries, New York/Oxford/Amsterdam: Elsevier
Scott, James C. 1987. Weapons of
the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven:
Yale University Press
Siahaan, Hotman M. 1996.
“Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi”, Disertasi tidak Diterbitkan, Surabaya: Pascasarjana Program Doktor Ilmu
Sosial Universitas Airlangga.
Siahaan, Hotman M. 1998. 'Anarki' Sebagai Upaya
Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar "Anarkhi, Represi, dan
Demokrasi" yang diadakan dalam rangka Dies Fisipol UGM, 19 September 1998.
Singarimbun,
Masri; Sofian Effendi. 1989. Metode
Penelitian Survei. Jakarta: Salemba
Empat
Skocpol, Theda. 1979. Negara dan Revolusi
Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. (Terj. Kelompok Mitos. Jakarta: Penerbit Erlangga
Supangat,
2015. “Melihat Sisi Gelap Progam KB Pascareformasi,” Makalah, Banten: STIE Banten
Tirtosudarmo, Riwanto. 2013. From Colonization to Nation-State: the Political
Demography of Indonesia.
Jakarta: LIPI Press
Tirtosudarmo, Riwanto.
2014. Menuju Politik
Kependudukan yang Berbasis Kewarganegaraan dan Keindonesiaan. Diunduh dari
http://kependudukan.lipi.go.id/id/ tanggal 1 April 2016
Weiner, Myron. 1971. Crises and sequences in political development. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press
[1] Muhammad Busro. “Politik Kependudukan di
Indonesia.” Makalah, (Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten,
2016) hal 1
[2] Hasil diskusi duduk
bersama antara peneliti, Dr. Siduk Usop, M.Si, dan Dr. Dr. Muhammad Busro, saat
membahami permasalahan berdasarkan kondisi lapangan
[3] Myron Weiner, Crises and sequences in political
development. (Princeton, NJ: Princeton Univ. Press, 1971) hal 34.
[4] Tirtosudarmo, Riwanto. Menuju Politik
Kependudukan yang Berbasis Kewarganegaraan dan Keindonesiaan. Diunduh dari
http://kependudukan.lipi.go.id/id/ tanggal 1 April 2016
[8] Ikatan
Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560
tanggal 1 April 2016
[10] Sebagai contoh, pemerintah menghendaki adanya pembatasan jumlah anak,
sementara daerah merasa tidak perlu karena jumlah penduduk di suatu wilayah
masih sangat jarang.
[16] Mup hammad
Busro. “Politik Kependudukan di Indonesia.” Makalah,
(Serang: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten, 2016) hal 2
[17] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat
Sipil Di Dunia Ketiga: Upaya Memahami Gerakan Politik Kaum Terpinggir (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000) hal 20-21.
[18] Hotman M. Siahaan, “Pembangkangan Terselubung …hal 33
[19]
Hotman M. Siahaan, "'Anarki' Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi di Pedesaan, makalah yang disampaikan dalam Seminar
"Anarkhi, Represi, dan Demokrasi" yang diadakan dalam rangka Dies
Fisipol UGM, 19 September 1998. hal 19-46
[20] James C. Scott, Weapons of the Weak …hal 305
[23] Eric Hoffer, Gerakan Massa, Terj. Masri Maris (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1988) lihat juga Kata Pengatarnya Yap Thiam Hiem.
[24] Theda Skockpol, Negara …hal 7, atau Hotman M. Siahaan,
Perlawanan …hal.41.
[25] Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis
Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan Cina.
(Terj. Kelompok Mitos ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 1979) hal 7 atau
bisa juga dibaca pada Hotman M. Siahaan, Perlawanan… hal 40
[26] Lihat Ted Robert Gurr, Why Man Rebel, (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1970) hal 3-5
[27] Lihat Mohtar Mas’oed, Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu (P3PK
UGM, Yogyakarta. 2000) hal 7
[28] Barbara Salert, Four Theories Revolutions and Revolutionaries,
(New York/Oxford/Amsterdam: Elsevier, 1976) hal 3-5
[29] Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode
Penelitian Survei. (Jakarta: Salemba Empat, 1989) hal 32
[30] Faisal,
Sanapiah. Peneliti Kualitatif: Dasar-
Dasar dan Aplikasi, (Malang: UM Press. 1992) hal 64
[31] Matthew B. Miles,, A. Michael Huberman, dan Johnny SaldaƱa. Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook. Edisi 3. (Los Angeles: Sage
Publication, . 2008) 76.
[32] Sambutan Gubernur pada acara Ibadah Syukuran dan ramah tamah umat
Kristiani Kalteng dengan Gubernur dan wakil Gubernur Kalteng Masa Jabatan
2016-2021 di Aula Jayang Tingang Sabut 4 Juni 2016. Baca juga Kalteng Pos tanggal 7 Juni 2015.
[33] Hasil Wawancara dengan Sekda Provinsi Kalimantan Tengah Dr. Drs. Sion
Djarian, SH, MH tanggal 28 Juni 2016
[38] Hasil
Wawancara pada tanggal 24 Juni 2016 pukul 16.00-18.00 di Hotel Ando Raya Jl.
Yos Sudarso Palangka Raya Kalimantan Tengah.
[40] Sebanyak 13 kecamatan yang dimaksud yaitu: Basarang,
Bataguh,
Dadahup,
Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai,
Pasak Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, danTimpah
[41] Letak geografis Kabupaten Katingan adalah antara
1°14'4,9"-3°11'14,72" LS dan 112°39'59"-112°41'47" BT. Karakteristik
daerah-daerah adalah keberadaan sungai dan hutan yang terbesar di seuruh
wilayah. Pada
tahun 2002 masih menjadi bagian dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satu yang menonjol
dari wilayah yang dialiri Sungai Katingan, sungai terbesar kedua di Kalimantan
Tengah adalah kekayaan hasil hutan ikutan berupa rotan. Katingan merupakan
salah satu daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia
[43] Hasil wawancara dengan
Drg. Luhut Sinaga, Sekretaris Badan PP-KB tanggal 24 Juni 2016. Menurut Arahan
Presiden sebenarnya money follow program bukan program follow
money.
[44] Isi Pidato Bupati Kapuas
saat menghadiri HUT Ikatan Bidan Indonesia yang ke 64. Baca pula Kalteng Pos
tanggal 21 Agustus 2015 halaman 17.
[45] Hasil Wawancara dengan Ibu Satyawati
Kusumawijaya, S.Psi, Kabag Kantor Perwakilan BKKBN Kalimantan Tengah tanggal 24
Juni 2016, saat perjalanan antara Kota Palangka Raya Menuju Kabupaten Kapuas
[46] Hasil wawancara dengan
Bapak Luhut Sinaga, Drg. Sekretaris Badan PPA-KB Kab Kapuas tanggal 24 Juni
2016.
[47] Hasil wawancara dengan
Bapak Mirhan Subbagian Data dan Informasi Badan PPA-KB Kab. Kapuas tanggal 24
Juni 2016.
[48] Hasil
wawancara dengan Sekretaris Badan PP-KB Kabupaten Kapuas tanggal 24 Juni 2016.
Selanjutnya dijelaskan bahwa besaarnya DAK di Kabupaten Kapuas sebesar 440
Milyar.
[49] Hasil Wawancara dengan
Bapak Widodo Subbagian Perencanaan Badan PPA-KB Kab. Kapuas n tanggal 24 Juni
2016..
[50] Hasil wawancara dengan Salah
satu Kabag di
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kapuas Bp. Abdurrahman
tanggal 24 Juni 2016. Dengan
perincian untuk pembangunan fisik sebesar 257 milyar dan sisanya 183 milyar
nonfisik. Bila dibandingkan pada tahun 2015, jumlah DAK sebesar 127 milyar .
[51] TAPD
terdiri atas DPR, Sekretaris Daerah, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas
Aset Daerah.
[52] Nomenklatur
SKP dibagi dalam tiga kelas/tipe yaitu SKPD tipa A untuk SKPD yang sangat
penting, tipe B SKPD penting, dan tipe C SKPD penunjang.
[53] Hasil
wawancara dengan Didik Sulistiyono, S.E petugas Administrasi aplikasi RKA-KL
Bappeda Kab. Kapuas tanggal 24 Juni 2016
[55] MOP dan MOW merupakan kontrasepsi mantap (kontap).Tindakan kontap pada
wanita disebut kontap wanita atau MOW (Metoda Operasi Wanita ) atau
tubektomi, sedangkan pada pria MOP (Metoda Operasi Pria) atau
vasektomi.Kontrasepsi mantap pada wanita atau MOW (Metoda Operasi
Wanita) atau tubektomi, yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan saluran telur
agar sel telur tidak dapat dibuahi oleh sperma. Kontrasepsi
mantap pada pria atau MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi., yaitu tindakan
pengikatan dan pemotongan saluran benih agar sperma tidak keluar dari
buah zakar.
[57] Sebanyak 13 kecamatan yang dimaksud yaitu: Katingan Kuala, Mendawai, Kamipang, Tasik Payawan, Katingan
Hilir, Tewang Sangalang Garing, Pulau Malan, Katingan Tengah (Central Katingan),
Sanaman Mantikei, Petak Malai, Marikit, Katingan Hulu, dan Bukit Raya
[58] Letak geografis Kabupaten Katingan adalah antara
1°14'4,9"-3°11'14,72" LS dan 112°39'59"-112°41'47" BT. Karakteristik daerah-daerah
adalah keberadaan sungai dan hutan yang terbesar di seuruh wilayah. Pada tahun 2002 masih
menjadi bagian dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satu yang menonjol
dari wilayah yang dialiri Sungai Katingan, sungai terbesar kedua di Kalimantan
Tengah adalah kekayaan hasil hutan ikutan berupa rotan. Katingan merupakan
salah satu daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia.
[59] Dana yang diusulkan pada tahun 2015 untuk anggaran tahun 2016
sebesar, 4.2 milyar, akan tetapi hanya disetujui sebesar 2,2 milyar
[60] Hasil
wawancaraa dengan Ibu Dra. Meliasi kepala Badan PPA-KB Kab. Katingan tanggal 25 Juni 2016.
[63] Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB
Kabupaten Katingan tanggal 25 Juni 2016 pukul 08.30-09.30.
[65] MOP dan MOW merupakan kontrasepsi mantap (kontap), yaitu suatu tindakan untuk membatasi keturunan
dalam jangka waktu yang tidak terbatas; yang dilakukan terhadap salah seorang dari
pasangan suami isteri atas permintaan yang bersangkutan, secara mantap
dan sukarela. Kontap dapat diikuti baik oleh wanita maupun pria. Tindakan
kontap pada wanita disebut kontap wanita atau MOW (Metoda Operasi Wanita
) atau tubektomi, sedangkan pada pria MOP (Metoda Operasi Pria) atau
vasektomi.Kontrasepsi mantap pada wanita atau MOW (Metoda Operasi
Wanita) atau tubektomi, yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan saluran telur
agar sel telur tidak dapat dibuahi oleh sperma. Kontrasepsi
mantap pada pria atau MOP (Metoda Operasi Pria) atau vasektomi., yaitu tindakan
pengikatan dan pemotongan saluran benih agar sperma tidak keluar dari
buah zakar.
[66] Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Meliasi, Kepala Badan PP-KB
Kabupaten Katingan tanggal 25 Juni 2016 pukul 08.30-09.30.
[69] Hasil wawancara dengan Kepala Bapeda Kabupaten Katingan, Wim, S.E.,
M.M. tanggal 25 Juni 2016 pukul 10.00-11.00
[72] Penolakan, sebagai istilah khusus dari para pejabat, karena mereka risih dengan kata
perlawanan atau resistensi. Mereka menganggap kata perlawanan tabu diucapkan
oleh aparatur sipil Negara (ASN).
[73] Hasil
wawancara dengan pejabat pemerintah daerah, DPRD Provinsi, pejabat BKBN, nara
sumber ahli sosiologi antropologi Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad
Busro tanggal 15-20 April 2016.
[74] Hasil
wawancara dengan Dr. Usop Sidik, M.Si. dan Dr.Dr. Muhammad Busro tanggal 21-22
April 2016
[75] Ikatan
Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (Ipadi). 2013. Manipulasi Data Penduduk Marak di Daerah. Diunduh dari http://ugm.ac.id/id/berita/8560
tanggal 1 April 2016