BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Remaja
Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan social yang sangat pesat dari
masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern yang juga berimplikasi terhadap
terjadinya pergeseran norma dan nilai serta gaya hidup mereka (Adioetomo dan
Sulistinah). Dahulu remaja diproteksi secara ketat oleh system dalam keluarga,
adat-sitiadat, budaya dan nilai-nilai
tradisonal yang ada di masyarakat secara perlahan dan pasti mengalami erosi
yang disebabkan oleh gencarnya arus urbanisasi dan industrialisasi. Revolusi
teknologi di bidang komunikasi/media semakin membuka cakrawala dunia yang
berdampak pada semakin terbukanya keragaman gaya hidup dan informasi termasuk
informasi yang tidak bertanggungjawab merasuk kaum remaja tanpa filter. Sebagai
konsekuensi logis dari kondisi tersebut berakibat pada semakin meningkatnya
kerentanan remaja terhadap berbagai macam patologi sosial seperti pelecehan
seksual hingga perkosaan, terlibat narkoba yang berujung free sex dan
gonta-ganti pasangan hingga berakibat KTD dan aborsi tidak aman (unwanted
pregnancy) serta penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan
seksual (IMS) termasuk ancaman terhadap HIV-AIDS.
Data statistik dan hasil pemodelan matematika menunjukkan jalur utama
penularan HIV di Indonesia dewasa ini
dan ke depan adalah melalui transmisi seksual. Temuan Survei Terpadu Biologis
dan Perilaku (STBP) tahun 2002, 2004, 2007 dan 2011, menunjukkan belum
berubahnya perilaku tidak aman pada hubungan seksual beresiko di semua kelompok
populasi kunci. Akibatnya terjadi peningkatan prevalensi yang pesat pada Pria
Risiko Tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan semakin besarnya penularan HIV
pada Ibu Rumah Tangga dan pada kelompok umur remaja/dewasa. Fenomena ini sudah
mulai tampak dari semakin besarnya jumlah Ibu Rumah Tangga dan remaja/dewasa
yang dilaporkan tertular HIV dan AIDS, khususnya dalam 3 tahun terakhir ini. (STBP, 2011).
Peningkatan prevalensi tersebut berdasarkan data Depkes RI menunjukkan angka
0,32% (2001), 1,55% (2005), dan 3,96% (2007) (Djajadilaga, dkk, 2007: 14).
Menurut Menkes, status epidemic HIV di Indonesia saat ini berada pada tingkat concentrated epidemic, karena prevalensi
HIV di kelompok populasi kunci sudah di atas 5%. (http://health.kompas.com)
Kasus
HIV-AIDS di provinsi Kalimantan Tengah terjadi peningkatan tajam sejak tahun
2011 di mana jumlah penderita HIV sebesar 48 kasus dan AIDS 21 kasus, padahal
pada tahun 2010 hanya sebesar 12 kasus HIV dan 19 kasus AIDS. Angka komulatif
kasus HIV-AIDS di Kalimantan Tengah per November 2013 adalah 228 kasus HIV dan
106 kasus AIDS. Angka kasus terbesar ada di 4 wilayah yakni Kota Palangka Raya,
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Katingan. Menurut status
pekerjaan kasus HIV-AIDS di Kalimantan didominasi dua kelompok yakni wiraswasta
(22,6%) dan ibu rumah tangga (20,8%). Sangat memprihatinkan ternyata kasus
HIV-AIDS di Kalimantan Tengah didominasi kelompok usia produktif yakni 3,6%
(15-19 tahun), 13,8% (20-24 tahun) dan 67,1% (25-49 tahun). (Dinas Kesehatan
Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Sampai
saat ini, kondom dinilai cukup efektif sebagai salah satu cara untuk mencegah
transmisi IMS dan HIV. Menurut Meiwita Paulina Budiharsana dalam upaya
pencegahan transmisi HIV, negara-negara Asia yang kurang lebih sama dengan
Indonesia, mengalami penurunan angka kasus baru HIV dari tahun ke tahun.
Contohnya Nepal, jumlah kasus baru HIV menurun dari 6.200 kasus baru menjadi
4.900 kasus baru pada tahun 2007. Di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Laos
dinilai tidak akan mencapai target MDGs untuk penurunan kasus baru HIV. Selain
itu, hanya Indonesia yang jumlah penggunaan kondomnya selama 20 tahun masih di
bawah 10% berdasarkan data SDKI 2007 (http://www.kesrepro.info/). Namun demikian kenyataan di
Indonesia umumnya, dan Kalimantan Tengah khususnya menunjukkan perilaku
pemakaian kondom sebagai salah satu upaya proteksi terhadap penularan IMS dan
HIV pada kelompok berisiko masih rendah, baik di kalangan WPS, waria, guy
maupun pelanggan. Padahal, penggunaan kondom merupakan kunci penting pencegahan
penularan HIV karena hubungan seks berisiko tersebut merupakan salah satu
gerbang utama penularan HIV.
Remaja
(Youth, 15-24 tahun WHO, 2002) berada
pada fase meningkatnya dorongan seksual dan selalu mencari lebih banyak
informasi mengenai seks. Populasi remaja dan orang muda di Indonesia saat ini
28% dari total penduduk. Generasi terbesar ini sedang menuju kedewasaaan, akan
tetapi bukti-bukti menunjukkan remaja termasuk dalam kelompok rentan terhadap
risiko reproduksi dan seksual yang tidak aman termasuk HIV-AIDS. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh PKBI terkait perilaku seksual pada remaja di 19
provinsi di indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah remaja
yang sudah melakukan hubungan seksual berkisar antara 10% hingga 27%. Rata-rata
remaja pertama kali melakukan hubungan seksual pada usia 12 tahun. Sekitar 47 %
pasangan remaja yang melakukan hubungan seks pertama kali adalah dengan pacar
dan sebanyak 23% dengan pekerja seks. Penelitian yang sama yang dilakukan oleh
perusahaan yang memproduksi Kondom (DKT Indonesia) tahun 2005 di 4 Kota yaitu
Jabotabek, Bandung, Surabaya, dan Medan menunjukan bahwa dari 474 responden
ternyata 50,05% adalah seksual aktif.
Hasil
survei terakhir di 33 provinsi pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dilaporkan 63% remaja di
Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual
pranikah, ironisnya 21% diantaranya dilaporkan melakukan aborsi. Persentase
remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami peningkatan
dibanding tahun-tahun sebelumnya (http://repository.usu.ac.id/2/5/2014).
Data Survei
Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia terakhir Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan sebanyak 5.912 wanita di umur 15-19
tahun secara nasional pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan pria di usia
yang sama berjumlah 6.578 (3,7%) pernah melakukan hubungan seks. Nyaris tidak
jauh berbeda dengan data BKKBN, data tahun 2010 yang dirilis oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan bahwa 62,7% remaja SMP di
Indonesia sudah tidak perawan. Survei Komnas PA dilakukan terhadap 4.500 remaja
pada 12 kota besar seluruh Indonesia. (http://yantigobel.wordpress.com/tag/perilaku-seksual-remaja/,
7/5/2014)
Saat
ini kelompok usia produktif umumnya dan kelompok remaja khususnya merupakan
usia yang sangat rentan terhadap penularan HIV, di mana perilaku berisiko dapat
mudah terjadi akibat pergaulan bebas dan diperparah dengan minimnya informasi
terutama tentang kesehatan reproduksi dan seksual termasuk IMS dan HIV-AIDS.
Upaya untuk meningkatkan pengetahuan pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok usia
muda (produktif) sangat diperlukan melalui pengembangan integrasi pendidikan
kesehatan reproduksi dan seksual termasuk IMS dan HIV-AIDS.
Perlu
diperhatikan bahwa deklarasi nasional dan regional yang terkait dengan epidemic
HIV-AIDS telah mengakui besarnya pengaruh populasi yang berpindah-pindah yang
mempunyai pengaruh risiko infeksi tinggi.
Sebuah
literature global yang meneliti dampak dari perpindahan penduduk menyebutkan
bahwa mobilitas penduduk telah ditetapkan sebagai factor risiko infeksi HIV
yang independen (Gardner dan Blackborn, 1996, Decosas dkk, 1995 dalam Graeme
Hugo, 2001: 1). Dalam HIV/AIDS Update
untuk Indonesia yang disusun oleh UNAIDS (2000) dalam membahas masalah
kerentanan, menunjukkan bahwa beberapa hal perlu dipertimbangkan yakni: (1)
munculnya Penyakit Menular Seksual (Sexually
Transmission Infection-STI), (2) perilaku seksual, (3) penggunaan nakoba
dan HIV, (4) migrasi (internal/eksternal dan kerentanan terhadap HIV (Graeme
Hugo, 2001: 1).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
(1) Apakah tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual remaja?
(2) Apakah tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual?
(3) Apakah tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap sikap remaja tentang
kesehatan reproduksi dan seksual?
(4) Apakah tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja?
(5) Apakah tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko?
(6) Apakah tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap perilaku seks remaja?
(7) Apakah tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada
remaja berisiko?
(8) Apakah sikap tentang
kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap perilaku seks remaja?
(9) Apakah sikap tentang
kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada
remaja berisiko?
C. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian adalah untuk:
(1) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual
remaja.
(2) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pendidikan terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(3) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap sikap remaja
tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(4) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pendidikan terhadap perilaku seksual remaja.
(5) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pendidikan terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
(6) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja.
(7) Mendiskripsikan pengaruh
tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi
IMS/HIV pada remaja berisiko.
(8) Mendiskripsikan pengaruh
sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja.
(9) Mendiskripsikan pengaruh
sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada
remaja berisiko.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
(1) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan
reproduksi/seksual remaja.
(2) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat pendidikan terhadap sikap remaja tentang kesehatan
reproduksi/seksual.
(3) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap sikap remaja
tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(4) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat tingkat pendidikan terhadap perilaku seksual remaja.
(5) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat pendidikan terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja
berisiko.
(6) Ada pengaruh langsung dan
positif tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks
remaja.
(7) Ada pengaruh langsung dan
positif pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi
IMS/HIV pada remaja berisiko.
(8) Ada pengaruh langsung dan
positif sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks
remaja..
(9) Ada pengaruh langsung dan
positif sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi
IMS/HIV pada remaja berisiko.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
Remaja
Ada yang mengatakan bahwa usia remaja
adalah usia yang paling menghebohkan dibanding usia-usia lainnya. Ada juga yang
berpendapat bahwa masa remaja sebagai masa pemberontakan, masa pancaroba, masa
pubertas dan banyak sebutan lainnya. Tidak sedikit orang tua yang khawatir saat
anaknya memasuki usia remaja. Seolah citra yang melekat pada remaja ini adalah
keras kepala, tidak mau diatur, dan susah diajak bicara. Tapi ada juga yang
bilang kalau justru masa remaja inilah masa-masa produktif.
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah
mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa.
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun (http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/). Sementara International Planned Parenthood
Federation (IPPF) mendifinisikan remaja dengan rentang usia 10-24 tahun.
Batasan ini mengacu pada rentang usia di mana perubahan-perubahan psikis dan
fisik manusia mulai muncul (PKBI, 2007). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan usia 15-24 tahun
sebagai usia pemuda dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985
sebagai tahun pemuda Internasional. Di Indonesia sendiri batasan remaja
mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun yang
dikemukakan dalam sensus penduduk 1980 (Sanderowitz
& Paxman, 1985 dalam http://nevianyagastha.blogspot.com/2011/07/).
Perubahan masa pubertas berangsur-angsur
pada setiap orang, biasanya dimulai sejak seorang anak berusia 8 tahun dan
bervariasi antara satu dengan anak lainnya. Pubertas adalah masa peralihan
menjadi seorang wanita atau laki-laki dewasa saat organ seksual mulai tumbuh
dan berkembang dan tubuh seseorang berubah menjadi mampu melakukan fungsi
reproduksi (BBC World Service dan IPPF, Peduli Sex, 2000).
B.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behavior). (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera
yang dimilikinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/)
Pengetahuan tersebut yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan yaitu:
(1) Tahu (know), di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan
seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang di terima, ini adalah
tingkat pengetahuan yang paling rendah, kata kerja untuk mengukur dengan
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
(2) Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui, dan
dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang di pelajari.
(3) Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di
pelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi di sini dapat di artikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
(4) Analisis (analysis),
adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, kemampuan analisis
ini dapat dilihat dan penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan,
memisahkan dan sebagainya.
(5) Sintesis ( synthesis), adalah suatu kemampuan untuk menyusun formula baru dan formulasi yang ada.
Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru misalnya dapat menyusun,
merencanakan, meringkas dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang
telah ada.
(6) Evaluasi (evaluation),
berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau objek, penilaian di dasarkan pada suatu kriteria yang di
tentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) faktor tersebut adalah:
(1) Faktor Internal,
meliputi: (a) umur, semakin cukup umur maka tingkat kekuatan dan kematangan seseorang akan lebih
matang dalam berpikir dan bekerja, (b) pengalaman, diartikan sebagai
sesuatu yang pernah (dijalani, dirasai, ditanggung). Pengalaman merupakan suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, (c) tingkat pendidikan, tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan
oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Semakin tinggi pendidikan semakin baik pula tingkat
pengetahuan.
(2) Faktor Eksternal, meliputi: (a) informasi, memberi
pengaruh kepada seseorang akan pengetahuan yang dimiliki, (b) lingkungan,
adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya dapat
mempengaruhi perkembangan dalam perilaku orang atau kelompok, (c) sosial budaya,
yakni tradisi begitu melekat pada diri seseorang banyak permasalahan yang dapat
di pecahkan dan terjawab berdasarkan suatu tradisi, akan tetapi mungkin
terdapat kendala karena beberapa tradisi begitu melekat hingga validitas,
manfaat tidak pernah coba di teliti.
C.
Sikap
Sikap adalah respon individu terhadap suatu atau
semua objek dan situasi yang tengah dihadapi oleh individu itu sendiri yang
menghasilkan tindakan atas dasar dari respon tersebut. Sikap kita senantiasa
dipengaruhi oleh orang lain. Sikap kita saat ini bukanlah bawaan dari lahir.
Sikap terbentuk dari hasil seseorang berinteraksi dengan yang lainnya dan
proses belajar yang panjang. Selama interaksi dan pembelajaran masih
berlangsung maka sikap juga akan bisa berubah setiap saat sesuai dengan
interaksi dan belajar yang dilakukan Proses Perubahan Sikap (http://www.slideshare.net/atone_lotus/). Sikap (attitude)
merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan factor pendapat dan
Umumnya para sosiolog dan psikolog memberi
batasan bahwa sikap merupakan kecenderungan individu untuk merespon dengan cara
yang khusus terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan sosial. Sikap merupakan
suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negative terhadap
berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep
dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000, dalam
http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/)
Secara umum, sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif,
afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975; Krech dan Ballacy,
1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000 dalam http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/). Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang
berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang
masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi
akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan
pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang
diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi
emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen
afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau
subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan
bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai
dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau
subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan
seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap
obyek atau subyek.
D.
Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain:
berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainya. Menurut Skinner, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2003 dalam http://dianhusadanuruleka.blogspot.com/p/konsep-perilaku-manusia.html)
Para psikolog lain, di antaranya Morgan dan King, Howard dan
Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan, nilai dan budaya
masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang factor hereditas merupakan faktor
bawaan seseorang yang berupa karunia pencipta alam semesta yang telah ada dalam
diri manusia sejak lahir, yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua
faktor secara bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin
menumbuhkan sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan factor
lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum
konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan dengan factor
lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun (Syah, 2002 dalam http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/)
E.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi atau dalam bahasa
Inggris “reproductive health” adalah keadaan yang menunjukkan kondisi kesehatan
fisik, mental dan social kita dihubungkan dengan fungsi dan proses
reproduksinya. Pada diri kita tidak ada penyakit atau kelainan yang membpengaruhi
proses dan fumgsi reproduksi (PKBI, Kesehatan Reproduksi untuk Remaja Islam,
2007)
Kita dikatakan memiliki
reproduksi yang sehat bila:
(1) Mampu menjaga organ-organ reproduksi dari berbagai perilaku yang tidak
sehat dan tidak bertanggung jawab.
(2) Mampu mempunyai anak/keturunan yang sehat.
(3) Mampu mengendalikan diri baik secara fisik, mental dan sosial untuk tidak
melakukan hubungan seks sebelum dewasa, sebelum nikah dan di luar nikah.
(4) Mampu menjalankan kehidupan seksual yang sehat dengan pasangan yang sah.
(5) Tidak menulari atau tertular penyakit kelamin (infeksi menular seksual).
(6) Tidak memaksa atau dipaksa oleh pasangan kita, apalagi oleh orang lain.
(7) Bisa memperoleh informasi dan pelayanan reproduksi yang kita butuhkan.
(8) Keputusan apapun yang kita ambil seputar masalah reproduksi kita bisa
dipertanggungjawabkan.
F.
Seksualitas dan Seks
Seksualitas berasal dari kata seks yang
diambil dari bahasa Inggris yakni “sex”
berarti jenis kelamin. Sementara seks itu sendiri mempunyai banyak pengertian
antara lain adalah jenis kelamin, reproduksi seksual, organ seks,
rangsangan/gairah seksual, dan hubungan seks. Sementara yang dimaksud dengan
seksualitas adalah “semua yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk
seksual”, ia melibatkan emosi, kepribadian, sikap dan lain-lain (BKKBN, 2004).
Karena itu seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas di
antaranya adalah dimensi bilogis, psikologis, social dan cultural
Kaitannya dengan pertumbuhan fisik dan
psikis, begitu seseorang memasuki masa pubertas di mana organ-organ seks mulai
matang akibat pengaruh hormon-hormon seks (hormon testosteron pada laki-laki
dan hormon estrogen dan progesteron pada perempuan), sehingga dapat
mempengaruhi dorongan seks seseorang, perasaan tertarik terhadap lain jenis dan
perilaku yang bertujuan mencapai kepuasan seksual. Perilaku yang diarahkan pada tujuan untuk mendapatkan
kenikmatan/kepuasan seksual disebut sebagai perilaku seks (Lentera Sahaja PKBI,
DIY, Dorongan Seksual).
G.
Resiko yang Dihadapi
Remaja
Masa pubertas pada remaja yang
diiringi perubahan fisik (terutama alat reproduksi), psikis (terutama emosi)
dan sosial (terutama perasaan tertarik dengan lawan jenis) dapat menimbulkan
risiko yang berakibat buruk bagi remaja. Adapun resiko yang kemungkinan
dihadapi oleh remaja tersebut antara lain adalah: (1) masalah pornografi, (2) tekanan
sebaya (peer preasure), (3) narkoba, (4) pacaran, (5) kehamilan tidak
diinginkan (KTD), (6) infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia dan Pemerintah Jepang, 2004).
(1) Pornografi: biasanya sangat menarik perhatian remaja karena di samping
mereka sedang dalam masa ingin tahu, mereka juga baru mengalami
perubahan-perubahan seksual baik secara fisik organ reproduksinya maupun dalam
sensasi seksualnya. Dorongan seksual yang tinggi ditambah dengan rasa ingin
tahu dan antusiasme yang tinggi terhadap hal-hal baru membuat remaj sangat
rentan terhadap pengaruh pornografi. Padahal pornografi lebih banyak pengaruh
negatifnya ketimbang pengaruh positif yakni: (a) pornografi memberi informasi yang
keliru mengenai seksualitas, (b) pornografi menanmkan nilai-nilai dan pemahaman
yang keliru dalam memahami perilaku seksual dirinya maupun orang lain, (c) pronografi
merangsang remaja untuk melakukan kegiatan seksual seperti masturbasi dan
hubungan seks pra-nikah, dan tidak jarang mengarah pada kekerasan seksual
(pelecehan hingga perkosaan).
(2) Tekanan Sebaya (Peer Preasure): pada masa remaja, teman sebaya menjadi
lebih penting dibandingkan masa sebelumnya. Mereka ingin diterima oleh teman-teman
sebayanya dan dianggap penting oleh teman-temannya. Kelompok teman sebaya
biasanya memiliki aturan-aturan sendiri yang membatasi dan harus dipatuhi oleh
anggota kelompoknya. Bila tidak bisa mengikuti peraturan tersebut maka anak
remaja akan dikucilkan dari pergaulan teman sebayanya. Aturan ini ada yang
berpengaruh positif seperti setia kawan dan empati, dan ada yang berpengaruh
negatif misalnya ajakan tawuran, merokok, menggunakan narkoba, hubungan seks,
dan lain-lain.
(3) Narkoba: sangat berbahaya terutama bagi remaja yang sedang dalam usia
produktif karena akan merusak organ-organ vital tubuh, bahkan bisa mematikan.
Pribadi sipengguna juga berubah menjadi anti sosial seperti suka mencuri, tidak
peduli dengan orang lain, jorok dan kasar.
(4) Masalah Pacaran: pacaran seringkali menjadi topik utama anak remaja di mana
saja. Dinamkika yang terjadi bisa mulai dari taksir-menaksir, menolak dan
ditolak cintanya, putus cinta, pacaran tidak kenal waktu, kekerasan dalam
pacaran, dan lain-lain.
(5) Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD): dapat terjadi pada remaja. Diusia sangat
belia remaja perempuan harus menghadapi masalah kehamilan tidak diinginkan
(KTD) akibat berhubungan dengan pacar, kekerasan ataupun perkosaan. Aborsi
menjadi salah satu jalan keluar bila remaja tidak berani mengemukakan masalah
kehamilannya pada orang tua. Aborsi juga merupakan salah satu pilihan orang tua
yang ingin agar kehamilan anaknya tidak diketahui oleh masyarakat. Akibatnya
tak sedikit remaja melakukan aborsi tidak
aman (unsafe abortion) dan sangat membahayakan nyawa remaja perempuan.
(6) Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS: rasa ingin tahu terhadap
kegiatan seksual dapat menjerumuskan remaja untuk mencoba berhubungan dengan
pekerja seks komersial. Perilaku ini dapat menyebabkab mereka terkena IMS.
Selain itu mereka juga bisa terancam HIV/AIDS yang mematikan.
H.
Perilaku Seks
Menurut Simkins (1984), dalam Sarwono
(2010), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk
tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari membaca buku porno, nonton
film porno, perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan
bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau
diri sendiri (Murti, 2008). Perilaku seksual dapat didefinisikan sebagai
“interaksi antara perilaku prokreatif dengan situasi fisik serta sosial yang
melingkunginya”. (Mohammad, 1998 dalam http://houseoflunaphi.
blogspot.com/ search/label/),
Perilaku seksual
meliputi 4 tahap (Kinsey (1965) dalam Murti, 2008) yaitu: (1) bersentuhan (touching),
mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan, (2) berciuman (kissing),
mulai dari ciuman singkat hingga berciuman bibir dengan mempermainkan lidah (deep
kissing), (3) bercumbuan (petting), menyentuh bagian-bagian yang
sensitif dari tubuh pasangannya dan mengarah pada pembangkitan gairah seksual,
(4) berhubungan kelamin (sexual intercouse).
I.
Perilaku Berisiko
Risiko
adalah suatu situasi yang diambil seseorang. Risiko
yang dihadapi oleh seseorang
tidak terbatas pada dirinya saja melainkan pada keluarga / pasangan / lingkungan. Risiko ternyata tidak berhenti pada satu keadaan saja, melainkan berkaitan
dengan keadaan lainnya.
Perilaku berisiko merupakan
segala perilaku seksual dan non-seksual yang menimbulkan risiko dan
memungkinkan terjadinya penularan IMS, HIV dan AIDS di antaranya adalah berhubungan seks setelah menggunakan narkoba, memiliki
banyak pasangan seksual, berhubungan seks dengan orang “baik-baik” tanpa kondom, mulut ke penis (seks oral), mulut ke alat kelamin vagina
(seks oral), penis masuk ke anus (seks
anal), menggunakan
kondom dengan istri atau pasangan tetapi tidak dengan yang lain, menggunakan
kondom dengan yang lain tetapi tidak dengan istri atau pasangan, berhubungan
seks dengan penjaja seks komersial tanpa kondom, mentatto tubuh, mendonorkan darah, bergantian jarum pada kelompok pecandu
NAPZA suntik (penasun). (Depkes, 2009)
J.
Proteksi
terhadap IMS dan HIV
Mengapa IMS perlu dihindari, karena jika tidak
beberapa factor akan muncul yang sangat berpengaruh pada penderita antara lain
munculnya: (1) dampak fisik maupun psikologis yang besar, (2) tidak bahagia (hubungan
tidak harmonis), (3) IMS yang tidak diobati dapat menyebabkan kemandulan dan
masalah lain terkait dengan kehamilan, kelahiran dan bayi, (4) beban sakit yang
dipanggul perempuan (kerentanan sosial dan biologis), (5) menyebabkan sakit
pelvic kronis pada perempuan, (6) IMS meningkatkan transmisi HIV.
Keterkaitan IMS
dengan HIV sangat erat karena: (1) perilaku sama bisa menularkan IMS dan HIV,
(2) mereka yang menderita IMS lebih berisiko terinfeksi HIV (borok/bisul 40 kali & cairan 10 kali) dari pasangan
yang positif HIV, (3) mereka yang mengidap HIV & IMS lebih cenderung
menularkan HIV ke pasangan yang negative, (4) kalau seseorang mengidap IMS maka dia berisiko
untuk mendapatkan HIV lebih besar sebesar 3 – 10 kali (risiko biasa sebesar
1:1000, namun dengan IMS kemungkinanya adalah 1:10).
Lima cara pokok
untuk mencegah penularan IMS dan HIV yakni dikenal dengan istilah A, B, C, D,
E, yaitu: A: Abstinence (absen seks sangat berhasil mencegah IMS dan HIV), B: Be Faithfull (setia dengan pasangan), C: Condom (gunakan kondom secara benar dan
konsisten), D: No Drugs (jauhi
narkoba terutama narkoba suntik), E: Education (pendidikan kespro dan seksual) (BKKBN,
2004: 66). Di samping itu cara pencegahan lain yang tidak kalah pentingnya
terutama bagi mereka yang berperilaku berisiko adalah memeriksakan atau
penapisan IMS dan periksa sampel darah untuk mengetahui HIV melalui voluntary
counseling and testing (VCT) secara rutin dan berkala.
Mengapa
VCT penting dilakukan terutama bagi kelompok yang berperilaku berisiko? Karena:
(1) mengetahui status HIV positif lebih dini akan memudahkan perencanaan
penanganan, (2) meningkatkan kualitas hidup Odha sehingga mengurangi angka
kesakitan dan kematian akibat AIDS (walaupun tidak dapat disembuhkan, namun penyakit
dapat dikendalikan dengan baik), (3) memutus mata rantai penularan HIV yang
meluas. Bagaimana dengan yang hasil tes
negatif? Jika hasil tes negative yang dilakukan selanjutnya adalah: (1) mempertahankan
perilaku yang aman, (2) mengubah perilaku dari yang berisiko ke perilaku aman,
(3) mempertahankan hasil tes HIV yang negative, (4) menjadi elemen aktif
kegiatan pencegahan dan penanggulangan AIDS bagi kelompoknya, masyarakat dan
lingkungannya (Departemen Kesehatan RI, 2009).
K.
Kaitan Pendidikan/Pengetahun, Sikap, dan Perilaku
Pendidikan dan atau pengetahuan, sikap
dan perilaku sangat erat kaitannya. Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang kemudian dalam perkembangannya domain perilaku tersebut diklasifikasikan
oleh Bloom menjadi tiga tingkat yakni: (1) Pengetahuan (knowledge), adalah hasil
penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang
dimilikinya; (2) Sikap (attitude), merupakan respons
tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan
faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan; dan (3) Tindakan atau praktik (practice),
merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk tindakan yang merupakan
bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki.(http://id.wikipedia.org/wiki)
Faktor pendidikan, pengetahuan yang didapat seseorang dari belajar
dan pengalaman akan menentukan sikap (attitude)
seseorang. Sikap dapat
mengalami perubahan sebagai akibat dari pengalaman. Sikap seseorang juga dapat
berubah akibat bujukan (pengaruh lingkungan), hal ini bisa terlihat saat iklan
atau kampanye mempengaruhi seseorang. Sementara perilaku merupakan ejawantah
dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki seseorang yang diekspresikan
dalam bentuk tindakan. Antara sikap dan
perilaku seyogiyanya ada kesamaan. Oleh karena itu psikolog sosial, seperti Morgan
dan King, Howard dan Kendler, serta Krech dkk. mengatakan bahwa antara sikap
dan perilaku adalah konsisten. Seharusnya sikap konsisten dengan perilaku, akan
tetapi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga
sikap tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi adanya
desonansi nilai (http://dianhusadanuruleka.blogspot.com/p/).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa baik tidaknya pendidikan dan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi dan seksual pada seseorang akan menentukan sejauh mana
kebenaran sikap dan pandangan seseorang tersebut terhadap kesehatan reproduksi
dan seksual. Sejauh mana sikap dan pandangan seseorang terhadap kesehatan
reproduksi dan seksual tentu saja akan menentukan perilaku seksual seseorang
apakah sehat dan bertanggungjawab. Jika seseorang sudah terlanjur menjadi
seksual aktif yang berisiko, maka baik tidak pengetahuan dan sikap seseorang
tentang kespro dan seksual akan mempengaruhi sejauh mana upaya proteksi
terhadap penularan IMS dan HIV-AIDS.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dan jenis penelitian merupakan penelitian survei. Mengingat data yang akan
dianalisis merupakan peristiwa yang diamati telah terjadi dan telah berlangsung
dalam kurun waktu tertentu (ex post facto), maka penggalian data dilakukan
langsung kepada remaja dan kelompok remaja berisiko sebagai responden yang
selama ini langsung merasakan keadaan dan perilaku sehari-hari mereka
sendiri.
Penelitian
dilakukan langsung kepada remaja sebagai subjek responden terkait dengan
variabel: (1) pendidikan, (2) pengetahuan tentang kespro/seksual, (3) sikap tentang
kesehatan reproduksi/seksual, (4) perilaku seks.
B.
Lokasi Penelitian
Penelitian
berlokasi di Kota Palangka Raya dan Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit)
Propinsi Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian di 2 kabupaten/kota (kabupaten
Kotawaringin Timur dan kota Palangka Raya) propinsi Kalimantan Tengah. Alasan
pemilihan lokasi tersebut adalah:
(1) Kedua lokasi tersebut cukup merepresentasikan
kondisi demografis, social, ekonomi dan budaya Kalimantan Tengah.
(2) Kedua lokasi merupakan 2 besar jumlah kasus IMS dan
HIV-AIDS terbanyak di Kalimantan Tengah per November 2013 (Dinkes propinsi
Kalteng 2013).
(3) Kedua lokasi merupakan 2 besar jumlah kelompok
berisiko (tanpa memandang kelompok umur) terbanyak di Kalimantan Tengah
(berdasarkan angka estimasi KPA Nasional GF ATM 2009).
C. Populasi
dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja usia 15-24 tahun di dua
wilayah yakni Palangka Raya dan Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah
di mana berdasarkan Sensus Pensusuk 2010 berjumlah sebanyak 119.046 jiwa.
Tabel 1
Jumlah
Remaja (usia 15-24 tahun) di Kota Palangka Raya dan Kab. Kotim
Lokasi
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
||
F
|
%
|
F
|
%
|
||
Kota Palangka
Raya
|
24,246
|
48.77
|
25,464
|
51.23
|
49,710
|
Kab. Kotawaringin
Timur
|
35,705
|
51.50
|
33,631
|
48.50
|
69,336
|
Jumlah
|
59,951
|
50.36
|
59,095
|
49.64
|
119,046
|
Karena jumlah populasi cukup besar dan mengingat keterbatasan waktu,
tenaga dan dana maka penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel. Berdasarkan rumus Isaac dan Michael
(Sugiyono, 2009: 126) maka jumlah sampel yang
diambil dari populasinya adalah sebesar 270 orang dengan tingkat kesalahan 10%.
Teknik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan teknik “accidental sampling”.
Dari 270 sampel tersebut, maka jumlah sampel berdasarkan lokasi
dan jenis kelamin secara proporsional adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah
Sampel Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin
Lokasi
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah Sampel
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
Kota Palangka
Raya
|
55
|
58
|
113
|
Kabupaten
Kotawaringin Timur
|
80
|
77
|
157
|
Jumlah
|
135
|
135
|
270
|
D. Instrumen/Alat
Penggali Data
Alat
penggali data menggunakan: (1) kuesioner; (2) wawancara terarah. Pola jawaban
kuisioner untuk menggali data pengetahuan Kespro/Seksual menggunakan skala
Guttman, sedangkan untuk menggali data sikap dan perilaku seksual dan proteksi
HIV menggunakan skala Likkert. Sebelum kuesioner
digunakan pada responden terlebih dahulu dilakukan uji coba untuk mengetahui
validitas dan reliabilitas instrumen. Untuk menguji tingkat validitas instrumen
menggunakan analisis factor (factor loading ≥ 0,40) dan untuk melihat tingkat reliabilitas instrumen
dengan menggunakan metode Cronbach Alpha.
Instrumen dikembangkan berdasarkan lima variabel
penelitian yang dipecah lagi menjadi beberapa indikator meliputi:
(1) Variabel pendidikan dengan
indikator: tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTP,
tamat SMTP, tidak tamat SMTA, tamat SMTA, tidak tamat PT, dan tamat PT.
(2) Varibel pengetahuan tentang Kespro/Seksual
dengan indikator: konsep kehamilan, IMS,
cara penularan, cara pencegahan, cara pengobatan IMS, konsep HIV-AIDS,
cara penularan, cara pencegahan, cara pengobatan HIV-AIDS.
(3) Variabel sikap dengan
indikator: mitos tentang kespro dan seksual,
pendapat tentang perilaku kespro dan seksual, pendapat tentang cara mencegah
IMS dan HIV, dan sikap terhadap
layanan kesehatan seksual dan reproduksi, stigma dan diskriminasi terhadap Odha.
(4) Variabel perilaku seks dengan
indikator: pengalaman melakukan hubungan seks, waktu melakukan seks pertama, partner
melakukan seks pertama, tempat pertama kali melakukan hub seks, frekuensi
melakukan seks selama ini, partner hubungan seks selama ini, tempat melakukan
hubungan seks selama ini, motivasi melakukan hubungan seks (komersial,
kepuasan, dendam).
(5) Variabel usaha proteksi dari
HIV dengan indikator: abstentia, be faithfull, penggunaan kondom, screening
IMS, dan VCT.
Dari indikator-indikator tersebut kemudian disusun menjadi butir-butir
pernyataan dan pertanyaan dalam bentuk kuesioner.
E.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali untuk try out dalam upaya uji validitas dan
reliabilitas instrumen kepada 20 responden remaja. Sementara penggalian data kepada sampel sebanyak 270 orang remaja di dua
lokasi sampel yakni Palangka Raya dan Kotawaringin Timur dilakukan oleh
sejumlah innumerator sebagai pewawancara
dengan menggunakan instrument berbentuk kuesioner.
F.
Analisis Data
Analisis
data menggunakan analisis statistic deskriptif di mana semua indicator yang
digali akan dideskripsikan satu persatu dengan bantuan table frekuensi.
Sementara untuk menguji hipotesis dilakukan dengan menggunakan pendekatan statisktik
inferensial melalui teknik analisis jalur (path
analysis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar