Senin, 18 Juli 2016

PENELITIAN PENGARUH PENDIDIKAN, TINGKAT PENGETAHUAN KESPRO/SEKSUAL DAN SIKAP KESPRO/SEKSUAL TERHADAP PERILAKU SEKS REMAJA SERTA UPAYA PROTEKSI IMS/HIV PADA REMAJA BERISIKO DI PALANGKA RAYA DAN SAMPIT (KOTIM) PART 1


  
BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan social yang sangat pesat dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern yang juga berimplikasi terhadap terjadinya pergeseran norma dan nilai serta gaya hidup mereka (Adioetomo dan Sulistinah). Dahulu remaja diproteksi secara ketat oleh system dalam keluarga, adat-sitiadat, budaya  dan nilai-nilai tradisonal yang ada di masyarakat secara perlahan dan pasti mengalami erosi yang disebabkan oleh gencarnya arus urbanisasi dan industrialisasi. Revolusi teknologi di bidang komunikasi/media semakin membuka cakrawala dunia yang berdampak pada semakin terbukanya keragaman gaya hidup dan informasi termasuk informasi yang tidak bertanggungjawab merasuk kaum remaja tanpa filter. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi tersebut berakibat pada semakin meningkatnya kerentanan remaja terhadap berbagai macam patologi sosial seperti pelecehan seksual hingga perkosaan, terlibat narkoba yang berujung free sex dan gonta-ganti pasangan hingga berakibat KTD dan aborsi tidak aman (unwanted pregnancy) serta penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan seksual (IMS) termasuk ancaman terhadap HIV-AIDS.    
Data statistik dan hasil pemodelan matematika menunjukkan jalur utama penularan HIV di Indonesia  dewasa ini dan ke depan adalah melalui transmisi seksual. Temuan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2002, 2004, 2007 dan 2011, menunjukkan belum berubahnya perilaku tidak aman pada hubungan seksual beresiko di semua kelompok populasi kunci. Akibatnya terjadi peningkatan prevalensi yang pesat pada Pria Risiko Tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan semakin besarnya penularan HIV pada Ibu Rumah Tangga dan pada kelompok umur remaja/dewasa. Fenomena ini sudah mulai tampak dari semakin besarnya jumlah Ibu Rumah Tangga dan remaja/dewasa yang dilaporkan tertular HIV dan AIDS, khususnya dalam 3 tahun terakhir ini. (STBP, 2011). Peningkatan prevalensi tersebut berdasarkan data Depkes RI menunjukkan angka 0,32% (2001), 1,55% (2005), dan 3,96% (2007) (Djajadilaga, dkk, 2007: 14). Menurut Menkes, status epidemic HIV di Indonesia saat ini berada pada tingkat concentrated epidemic, karena prevalensi HIV di kelompok populasi kunci sudah di atas 5%. (http://health.kompas.com)
Kasus HIV-AIDS di provinsi Kalimantan Tengah terjadi peningkatan tajam sejak tahun 2011 di mana jumlah penderita HIV sebesar 48 kasus dan AIDS 21 kasus, padahal pada tahun 2010 hanya sebesar 12 kasus HIV dan 19 kasus AIDS. Angka komulatif kasus HIV-AIDS di Kalimantan Tengah per November 2013 adalah 228 kasus HIV dan 106 kasus AIDS. Angka kasus terbesar ada di 4 wilayah yakni Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Katingan. Menurut status pekerjaan kasus HIV-AIDS di Kalimantan didominasi dua kelompok yakni wiraswasta (22,6%) dan ibu rumah tangga (20,8%). Sangat memprihatinkan ternyata kasus HIV-AIDS di Kalimantan Tengah didominasi kelompok usia produktif yakni 3,6% (15-19 tahun), 13,8% (20-24 tahun) dan 67,1% (25-49 tahun). (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Sampai saat ini, kondom dinilai cukup efektif sebagai salah satu cara untuk mencegah transmisi IMS dan HIV. Menurut Meiwita Paulina Budiharsana dalam upaya pencegahan transmisi HIV, negara-negara Asia yang kurang lebih sama dengan Indonesia, mengalami penurunan angka kasus baru HIV dari tahun ke tahun. Contohnya Nepal, jumlah kasus baru HIV menurun dari 6.200 kasus baru menjadi 4.900 kasus baru pada tahun 2007. Di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Laos dinilai tidak akan mencapai target MDGs untuk penurunan kasus baru HIV. Selain itu, hanya Indonesia yang jumlah penggunaan kondomnya selama 20 tahun masih di bawah 10% berdasarkan data SDKI 2007 (http://www.kesrepro.info/). Namun demikian kenyataan di Indonesia umumnya, dan Kalimantan Tengah khususnya menunjukkan perilaku pemakaian kondom sebagai salah satu upaya proteksi terhadap penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko masih rendah, baik di kalangan WPS, waria, guy maupun pelanggan. Padahal, penggunaan kondom merupakan kunci penting pencegahan penularan HIV karena hubungan seks berisiko tersebut merupakan salah satu gerbang utama penularan HIV.
Remaja (Youth, 15-24 tahun WHO, 2002) berada pada fase meningkatnya dorongan seksual dan selalu mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Populasi remaja dan orang muda di Indonesia saat ini 28% dari total penduduk. Generasi terbesar ini sedang menuju kedewasaaan, akan tetapi bukti-bukti menunjukkan remaja termasuk dalam kelompok rentan terhadap risiko reproduksi dan seksual yang tidak aman termasuk HIV-AIDS. Hasil penelitian yang dilakukan oleh PKBI terkait perilaku seksual pada remaja di 19 provinsi di indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah remaja yang sudah melakukan hubungan seksual berkisar antara 10% hingga 27%. Rata-rata remaja pertama kali melakukan hubungan seksual pada usia 12 tahun. Sekitar 47 % pasangan remaja yang melakukan hubungan seks pertama kali adalah dengan pacar dan sebanyak 23% dengan pekerja seks. Penelitian yang sama yang dilakukan oleh perusahaan yang memproduksi Kondom (DKT Indonesia) tahun 2005 di 4 Kota yaitu Jabotabek, Bandung, Surabaya, dan Medan menunjukan bahwa dari 474 responden ternyata 50,05% adalah seksual aktif.
Hasil survei terakhir di 33 provinsi pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dilaporkan 63% remaja di Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual pranikah, ironisnya 21% diantaranya dilaporkan melakukan aborsi. Persentase remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya (http://repository.usu.ac.id/2/5/2014). Data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia terakhir Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan sebanyak 5.912 wanita di umur 15-19 tahun secara nasional pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan pria di usia yang sama berjumlah 6.578 (3,7%) pernah melakukan hubungan seks. Nyaris tidak jauh berbeda dengan data BKKBN, data tahun 2010 yang dirilis oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan bahwa 62,7% remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Survei Komnas PA dilakukan terhadap 4.500 remaja pada 12 kota besar seluruh Indonesia. (http://yantigobel.wordpress.com/tag/perilaku-seksual-remaja/, 7/5/2014)
Saat ini kelompok usia produktif umumnya dan kelompok remaja khususnya merupakan usia yang sangat rentan terhadap penularan HIV, di mana perilaku berisiko dapat mudah terjadi akibat pergaulan bebas dan diperparah dengan minimnya informasi terutama tentang kesehatan reproduksi dan seksual termasuk IMS dan HIV-AIDS. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok usia muda (produktif) sangat diperlukan melalui pengembangan integrasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual termasuk IMS dan HIV-AIDS.
Perlu diperhatikan bahwa deklarasi nasional dan regional yang terkait dengan epidemic HIV-AIDS telah mengakui besarnya pengaruh populasi yang berpindah-pindah yang mempunyai pengaruh risiko infeksi tinggi.
Sebuah literature global yang meneliti dampak dari perpindahan penduduk menyebutkan bahwa mobilitas penduduk telah ditetapkan sebagai factor risiko infeksi HIV yang independen (Gardner dan Blackborn, 1996, Decosas dkk, 1995 dalam Graeme Hugo, 2001: 1).  Dalam HIV/AIDS Update untuk Indonesia yang disusun oleh UNAIDS (2000) dalam membahas masalah kerentanan, menunjukkan bahwa beberapa hal perlu dipertimbangkan yakni: (1) munculnya Penyakit Menular Seksual (Sexually Transmission Infection-STI), (2) perilaku seksual, (3) penggunaan nakoba dan HIV, (4) migrasi (internal/eksternal dan kerentanan terhadap HIV (Graeme Hugo, 2001: 1).
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
(1)  Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual remaja?
(2)  Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual?
(3)  Apakah tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi dan seksual?
(4)  Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja?
(5)  Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko?
(6)  Apakah tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap perilaku seks remaja?
(7)  Apakah tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko?
(8)  Apakah sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap perilaku seks remaja?
(9)  Apakah sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual berpengaruh terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko?
C.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah untuk:
(1)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual remaja.
(2)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pendidikan terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(3)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(4)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pendidikan terhadap perilaku seksual remaja.
(5)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pendidikan terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
(6)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja.
(7)  Mendiskripsikan pengaruh tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
(8)  Mendiskripsikan pengaruh sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja.
(9)  Mendiskripsikan pengaruh sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
D.     Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual remaja.
(2)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat pendidikan terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(3)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap sikap remaja tentang kesehatan reproduksi/seksual.
(4)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat tingkat pendidikan terhadap perilaku seksual remaja.
(5)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat pendidikan terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
(6)  Ada pengaruh langsung dan positif tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja.
(7)  Ada pengaruh langsung dan positif pengetahuan kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.
(8)  Ada pengaruh langsung dan positif sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap perilaku seks remaja..
(9)  Ada pengaruh langsung dan positif sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual terhadap upaya proteksi IMS/HIV pada remaja berisiko.



BAB  II
LANDASAN TEORI


A.     Remaja
Ada yang mengatakan bahwa usia remaja adalah usia yang paling menghebohkan dibanding usia-usia lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa masa remaja sebagai masa pemberontakan, masa pancaroba, masa pubertas dan banyak sebutan lainnya. Tidak sedikit orang tua yang khawatir saat anaknya memasuki usia remaja. Seolah citra yang melekat pada remaja ini adalah keras kepala, tidak mau diatur, dan susah diajak bicara. Tapi ada juga yang bilang kalau justru masa remaja inilah masa-masa produktif.
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun (http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/). Sementara International Planned Parenthood Federation (IPPF) mendifinisikan remaja dengan rentang usia 10-24 tahun. Batasan ini mengacu pada rentang usia di mana perubahan-perubahan psikis dan fisik manusia mulai muncul (PKBI, 2007). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai tahun pemuda Internasional. Di Indonesia sendiri batasan remaja mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam sensus penduduk 1980 (Sanderowitz & Paxman, 1985 dalam http://nevianyagastha.blogspot.com/2011/07/).
Perubahan masa pubertas berangsur-angsur pada setiap orang, biasanya dimulai sejak seorang anak berusia 8 tahun dan bervariasi antara satu dengan anak lainnya. Pubertas adalah masa peralihan menjadi seorang wanita atau laki-laki dewasa saat organ seksual mulai tumbuh dan berkembang dan tubuh seseorang berubah menjadi mampu melakukan fungsi reproduksi (BBC World Service dan IPPF, Peduli Sex, 2000).
B.      Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behavior). (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/)
Pengetahuan tersebut yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
(1) Tahu (know), di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang di terima, ini adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah, kata kerja untuk mengukur dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
(2)   Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang di pelajari.
(3)   Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat di artikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
(4)   Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, kemampuan analisis ini dapat dilihat dan penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan, memisahkan dan sebagainya.
(5)   Sintesis ( synthesis), adalah suatu kemampuan untuk menyusun formula baru dan formulasi yang ada. Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
(6)   Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian di dasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) faktor tersebut adalah:
(1)   Faktor Internal, meliputi: (a) umur, semakin cukup umur maka tingkat kekuatan dan kematangan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja, (b) pengalaman, diartikan sebagai sesuatu yang pernah (dijalani, dirasai, ditanggung). Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, (c) tingkat pendidikan, tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan.  Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu. Semakin tinggi pendidikan semakin baik pula tingkat pengetahuan.
(2)   Faktor Eksternal, meliputi: (a) informasi, memberi pengaruh kepada seseorang akan pengetahuan yang dimiliki, (b) lingkungan, adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dalam perilaku orang atau kelompok, (c) sosial budaya, yakni tradisi begitu melekat pada diri seseorang banyak permasalahan yang dapat di pecahkan dan terjawab berdasarkan suatu tradisi, akan tetapi mungkin terdapat kendala karena beberapa tradisi begitu melekat hingga validitas, manfaat tidak pernah coba di teliti.
C.      Sikap
Sikap adalah respon individu terhadap suatu atau semua objek dan situasi yang tengah dihadapi oleh individu itu sendiri yang menghasilkan tindakan atas dasar dari respon tersebut. Sikap kita senantiasa dipengaruhi oleh orang lain. Sikap kita saat ini bukanlah bawaan dari lahir. Sikap terbentuk dari hasil seseorang berinteraksi dengan yang lainnya dan proses belajar yang panjang. Selama interaksi dan pembelajaran masih berlangsung maka sikap juga akan bisa berubah setiap saat sesuai dengan interaksi dan belajar yang dilakukan Proses Perubahan Sikap (http://www.slideshare.net/atone_lotus/). Sikap (attitude) merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah  melibatkan  factor  pendapat dan
emosi yang bersangkutan (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Umumnya para sosiolog dan psikolog memberi batasan bahwa sikap merupakan kecenderungan individu untuk merespon dengan cara yang khusus terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan sosial. Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negative terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000, dalam http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/)
Secara umum, sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975; Krech dan Ballacy, 1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000 dalam http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/). Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek.
D.     Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Menurut Skinner, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2003 dalam http://dianhusadanuruleka.blogspot.com/p/konsep-perilaku-manusia.html)
Para psikolog lain, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang factor hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir, yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua faktor secara bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan factor lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan dengan factor lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun (Syah, 2002 dalam http://psikologi-unnes.blogspot.com/2008/08/)
E.      Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi atau dalam bahasa Inggris “reproductive health” adalah keadaan yang menunjukkan kondisi kesehatan fisik, mental dan social kita dihubungkan dengan fungsi dan proses reproduksinya. Pada diri kita tidak ada penyakit atau kelainan yang membpengaruhi proses dan fumgsi reproduksi (PKBI, Kesehatan Reproduksi untuk Remaja Islam, 2007)
Kita dikatakan memiliki reproduksi yang sehat bila:
(1)  Mampu menjaga organ-organ reproduksi dari berbagai perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab.
(2)  Mampu mempunyai anak/keturunan yang sehat.
(3)  Mampu mengendalikan diri baik secara fisik, mental dan sosial untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum dewasa, sebelum nikah dan di luar nikah.
(4)  Mampu menjalankan kehidupan seksual yang sehat dengan pasangan yang sah.
(5)  Tidak menulari atau tertular penyakit kelamin (infeksi menular seksual).
(6)  Tidak memaksa atau dipaksa oleh pasangan kita, apalagi oleh orang lain.
(7)  Bisa memperoleh informasi dan pelayanan reproduksi yang kita butuhkan.
(8)  Keputusan apapun yang kita ambil seputar masalah reproduksi kita bisa dipertanggungjawabkan.
F.       Seksualitas dan Seks
Seksualitas berasal dari kata seks yang diambil dari bahasa Inggris yakni “sex” berarti jenis kelamin. Sementara seks itu sendiri mempunyai banyak pengertian antara lain adalah jenis kelamin, reproduksi seksual, organ seks, rangsangan/gairah seksual, dan hubungan seks. Sementara yang dimaksud dengan seksualitas adalah “semua yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk seksual”, ia melibatkan emosi, kepribadian, sikap dan lain-lain (BKKBN, 2004). Karena itu seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas di antaranya adalah dimensi bilogis, psikologis, social dan cultural
Kaitannya dengan pertumbuhan fisik dan psikis, begitu seseorang memasuki masa pubertas di mana organ-organ seks mulai matang akibat pengaruh hormon-hormon seks (hormon testosteron pada laki-laki dan hormon estrogen dan progesteron pada perempuan), sehingga dapat mempengaruhi dorongan seks seseorang, perasaan tertarik terhadap lain jenis dan perilaku yang bertujuan mencapai kepuasan seksual. Perilaku yang diarahkan  pada tujuan untuk mendapatkan kenikmatan/kepuasan seksual disebut sebagai perilaku seks (Lentera Sahaja PKBI, DIY, Dorongan Seksual).
G.     Resiko yang Dihadapi Remaja
Masa pubertas pada remaja yang diiringi perubahan fisik (terutama alat reproduksi), psikis (terutama emosi) dan sosial (terutama perasaan tertarik dengan lawan jenis) dapat menimbulkan risiko yang berakibat buruk bagi remaja. Adapun resiko yang kemungkinan dihadapi oleh remaja tersebut antara lain adalah: (1) masalah pornografi, (2) tekanan sebaya (peer preasure), (3) narkoba, (4) pacaran, (5) kehamilan tidak diinginkan (KTD), (6) infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia dan Pemerintah Jepang, 2004).
(1)   Pornografi: biasanya sangat menarik perhatian remaja karena di samping mereka sedang dalam masa ingin tahu, mereka juga baru mengalami perubahan-perubahan seksual baik secara fisik organ reproduksinya maupun dalam sensasi seksualnya. Dorongan seksual yang tinggi ditambah dengan rasa ingin tahu dan antusiasme yang tinggi terhadap hal-hal baru membuat remaj sangat rentan terhadap pengaruh pornografi. Padahal pornografi lebih banyak pengaruh negatifnya ketimbang pengaruh positif yakni: (a) pornografi memberi informasi yang keliru mengenai seksualitas, (b) pornografi menanmkan nilai-nilai dan pemahaman yang keliru dalam memahami perilaku seksual dirinya maupun orang lain, (c) pronografi merangsang remaja untuk melakukan kegiatan seksual seperti masturbasi dan hubungan seks pra-nikah, dan tidak jarang mengarah pada kekerasan seksual (pelecehan hingga perkosaan).
(2)   Tekanan Sebaya (Peer Preasure): pada masa remaja, teman sebaya menjadi lebih penting dibandingkan masa sebelumnya. Mereka ingin diterima oleh teman-teman sebayanya dan dianggap penting oleh teman-temannya. Kelompok teman sebaya biasanya memiliki aturan-aturan sendiri yang membatasi dan harus dipatuhi oleh anggota kelompoknya. Bila tidak bisa mengikuti peraturan tersebut maka anak remaja akan dikucilkan dari pergaulan teman sebayanya. Aturan ini ada yang berpengaruh positif seperti setia kawan dan empati, dan ada yang berpengaruh negatif misalnya ajakan tawuran, merokok, menggunakan narkoba, hubungan seks, dan lain-lain.
(3)   Narkoba: sangat berbahaya terutama bagi remaja yang sedang dalam usia produktif karena akan merusak organ-organ vital tubuh, bahkan bisa mematikan. Pribadi sipengguna juga berubah menjadi anti sosial seperti suka mencuri, tidak peduli dengan orang lain, jorok dan kasar.
(4)   Masalah Pacaran: pacaran seringkali menjadi topik utama anak remaja di mana saja. Dinamkika yang terjadi bisa mulai dari taksir-menaksir, menolak dan ditolak cintanya, putus cinta, pacaran tidak kenal waktu, kekerasan dalam pacaran, dan lain-lain.
(5)   Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD): dapat terjadi pada remaja. Diusia sangat belia remaja perempuan harus menghadapi masalah kehamilan tidak diinginkan (KTD) akibat berhubungan dengan pacar, kekerasan ataupun perkosaan. Aborsi menjadi salah satu jalan keluar bila remaja tidak berani mengemukakan masalah kehamilannya pada orang tua. Aborsi juga merupakan salah satu pilihan orang tua yang ingin agar kehamilan anaknya tidak diketahui oleh masyarakat. Akibatnya tak sedikit remaja  melakukan aborsi tidak aman (unsafe abortion) dan sangat membahayakan nyawa remaja perempuan.
(6)   Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS: rasa ingin tahu terhadap kegiatan seksual dapat menjerumuskan remaja untuk mencoba berhubungan dengan pekerja seks komersial. Perilaku ini dapat menyebabkab mereka terkena IMS. Selain itu mereka juga bisa terancam HIV/AIDS yang mematikan.

H.     Perilaku Seks
Menurut Simkins (1984), dalam Sarwono (2010), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari membaca buku porno, nonton film porno, perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Murti, 2008). Perilaku seksual dapat didefinisikan sebagai “interaksi antara perilaku prokreatif dengan situasi fisik serta sosial yang melingkunginya”. (Mohammad, 1998 dalam http://houseoflunaphi. blogspot.com/ search/label/),
Perilaku seksual meliputi 4 tahap (Kinsey (1965) dalam Murti, 2008) yaitu: (1) bersentuhan (touching), mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan, (2) berciuman (kissing), mulai dari ciuman singkat hingga berciuman bibir dengan mempermainkan lidah (deep kissing), (3) bercumbuan (petting), menyentuh bagian-bagian yang sensitif dari tubuh pasangannya dan mengarah pada pembangkitan gairah seksual, (4) berhubungan kelamin (sexual intercouse).
I.        Perilaku Berisiko
Risiko adalah suatu situasi yang diambil seseorang. Risiko yang dihadapi oleh seseorang tidak terbatas pada dirinya saja melainkan pada keluarga / pasangan / lingkungan. Risiko ternyata tidak berhenti pada satu keadaan saja, melainkan berkaitan dengan keadaan lainnya.
Perilaku berisiko merupakan segala perilaku seksual dan non-seksual yang menimbulkan risiko dan memungkinkan terjadinya penularan IMS, HIV dan AIDS di antaranya adalah berhubungan seks setelah menggunakan narkoba, memiliki banyak pasangan seksual, berhubungan seks dengan orang “baik-baik” tanpa kondom, mulut ke penis (seks oral), mulut ke alat kelamin vagina (seks oral), penis masuk ke anus (seks anal), menggunakan kondom dengan istri atau pasangan tetapi tidak dengan yang lain, menggunakan kondom dengan yang lain tetapi tidak dengan istri atau pasangan, berhubungan seks dengan penjaja seks komersial tanpa kondom, mentatto tubuh, mendonorkan darah, bergantian jarum pada kelompok pecandu NAPZA suntik (penasun). (Depkes, 2009)
J.        Proteksi terhadap IMS dan HIV
Mengapa IMS perlu dihindari, karena jika tidak beberapa factor akan muncul yang sangat berpengaruh pada penderita antara lain munculnya: (1) dampak fisik maupun psikologis yang besar, (2) tidak bahagia (hubungan tidak harmonis), (3) IMS yang tidak diobati dapat menyebabkan kemandulan dan masalah lain terkait dengan kehamilan, kelahiran dan bayi, (4) beban sakit yang dipanggul perempuan (kerentanan sosial dan biologis), (5) menyebabkan sakit pelvic kronis pada perempuan, (6) IMS meningkatkan transmisi HIV.
Keterkaitan IMS dengan HIV sangat erat karena: (1) perilaku sama bisa menularkan IMS dan HIV, (2) mereka yang menderita IMS lebih berisiko terinfeksi HIV (borok/bisul  40 kali & cairan 10 kali) dari pasangan yang positif HIV, (3) mereka yang mengidap HIV & IMS lebih cenderung menularkan HIV ke pasangan yang negative, (4) kalau seseorang mengidap IMS maka dia berisiko untuk mendapatkan HIV lebih besar sebesar 3 – 10 kali (risiko biasa sebesar 1:1000, namun dengan IMS kemungkinanya adalah 1:10).
Lima cara pokok untuk mencegah penularan IMS dan HIV yakni dikenal dengan istilah A, B, C, D, E, yaitu: A: Abstinence (absen seks sangat berhasil mencegah IMS dan HIV), B: Be Faithfull (setia dengan pasangan), C: Condom (gunakan kondom secara benar dan konsisten), D: No Drugs (jauhi narkoba terutama narkoba suntik), E: Education (pendidikan kespro dan seksual) (BKKBN, 2004: 66). Di samping itu cara pencegahan lain yang tidak kalah pentingnya terutama bagi mereka yang berperilaku berisiko adalah memeriksakan atau penapisan IMS dan periksa sampel darah untuk mengetahui HIV melalui voluntary counseling and testing (VCT) secara rutin dan berkala.
Mengapa VCT penting dilakukan terutama bagi kelompok yang berperilaku berisiko? Karena: (1) mengetahui status HIV positif lebih dini akan memudahkan perencanaan penanganan, (2) meningkatkan kualitas hidup Odha sehingga mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat AIDS (walaupun tidak dapat disembuhkan, namun penyakit dapat dikendalikan dengan baik), (3) memutus mata rantai penularan HIV yang meluas. Bagaimana dengan yang hasil tes negatif? Jika hasil tes negative yang dilakukan selanjutnya adalah: (1) mempertahankan perilaku yang aman, (2) mengubah perilaku dari yang berisiko ke perilaku aman, (3) mempertahankan hasil tes HIV yang negative, (4) menjadi elemen aktif kegiatan pencegahan dan penanggulangan AIDS bagi kelompoknya, masyarakat dan lingkungannya (Departemen Kesehatan RI, 2009).
K.      Kaitan Pendidikan/Pengetahun, Sikap, dan Perilaku
Pendidikan dan atau pengetahuan, sikap dan perilaku sangat erat kaitannya. Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang kemudian dalam perkembangannya domain perilaku tersebut diklasifikasikan oleh Bloom menjadi tiga tingkat yakni: (1) Pengetahuan (knowledge), adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya; (2) Sikap (attitude), merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan; dan (3) Tindakan atau praktik (practice), merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk tindakan yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki.(http://id.wikipedia.org/wiki)
Faktor pendidikan, pengetahuan yang didapat seseorang dari belajar dan pengalaman akan menentukan sikap (attitude) seseorang. Sikap dapat mengalami perubahan sebagai akibat dari pengalaman. Sikap seseorang juga dapat berubah akibat bujukan (pengaruh lingkungan), hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye mempengaruhi seseorang. Sementara perilaku merupakan ejawantah dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki seseorang yang diekspresikan dalam bentuk tindakan.  Antara sikap dan perilaku seyogiyanya ada kesamaan. Oleh karena itu psikolog sosial, seperti Morgan dan King, Howard dan Kendler, serta Krech dkk. mengatakan bahwa antara sikap dan perilaku adalah konsisten. Seharusnya sikap konsisten dengan perilaku, akan tetapi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga sikap tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi adanya desonansi nilai (http://dianhusadanuruleka.blogspot.com/p/).
Jadi dapat disimpulkan bahwa baik tidaknya pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual pada seseorang akan menentukan sejauh mana kebenaran sikap dan pandangan seseorang tersebut terhadap kesehatan reproduksi dan seksual. Sejauh mana sikap dan pandangan seseorang terhadap kesehatan reproduksi dan seksual tentu saja akan menentukan perilaku seksual seseorang apakah sehat dan bertanggungjawab. Jika seseorang sudah terlanjur menjadi seksual aktif yang berisiko, maka baik tidak pengetahuan dan sikap seseorang tentang kespro dan seksual akan mempengaruhi sejauh mana upaya proteksi terhadap penularan IMS dan HIV-AIDS.
  
BAB  III
METODE PENELITIAN

A.     Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian merupakan penelitian survei. Mengingat data yang akan dianalisis merupakan peristiwa yang diamati telah terjadi dan telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu (ex post facto), maka penggalian data dilakukan langsung kepada remaja dan kelompok remaja berisiko sebagai responden yang selama ini langsung merasakan keadaan dan perilaku sehari-hari mereka sendiri.  
Penelitian dilakukan langsung kepada remaja sebagai subjek responden terkait dengan variabel: (1) pendidikan, (2) pengetahuan tentang kespro/seksual, (3) sikap tentang kesehatan reproduksi/seksual, (4) perilaku seks.
B.      Lokasi Penelitian
Penelitian berlokasi di Kota Palangka Raya dan Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Propinsi Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian di 2 kabupaten/kota (kabupaten Kotawaringin Timur dan kota Palangka Raya) propinsi Kalimantan Tengah. Alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:
(1)  Kedua lokasi tersebut cukup merepresentasikan kondisi demografis, social, ekonomi dan budaya Kalimantan Tengah.
(2)  Kedua lokasi merupakan 2 besar jumlah kasus IMS dan HIV-AIDS terbanyak di Kalimantan Tengah per November 2013 (Dinkes propinsi Kalteng 2013).
(3)  Kedua lokasi merupakan 2 besar jumlah kelompok berisiko (tanpa memandang kelompok umur) terbanyak di Kalimantan Tengah (berdasarkan angka estimasi KPA Nasional GF ATM 2009).
C.      Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja usia 15-24 tahun di dua wilayah yakni Palangka Raya dan Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah di mana berdasarkan Sensus Pensusuk 2010 berjumlah sebanyak 119.046 jiwa.
Tabel 1
Jumlah Remaja (usia 15-24 tahun) di Kota Palangka Raya dan Kab. Kotim
Lokasi
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
F
%
F
%
Kota Palangka Raya
24,246
48.77
25,464
51.23
49,710
Kab. Kotawaringin Timur
35,705
51.50
33,631
48.50
69,336
Jumlah
59,951
50.36
59,095
49.64
119,046

Karena jumlah populasi cukup besar dan mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan dana maka penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel. Berdasarkan rumus Isaac dan Michael (Sugiyono, 2009: 126) maka jumlah sampel yang diambil dari populasinya adalah sebesar 270 orang dengan tingkat kesalahan 10%. Teknik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan teknik “accidental sampling”.
Dari 270 sampel tersebut, maka jumlah sampel berdasarkan lokasi dan jenis kelamin secara proporsional adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Sampel Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin
Lokasi
Jenis Kelamin
Jumlah Sampel
Laki-laki
Perempuan
Kota Palangka Raya
  55
  58
113
Kabupaten Kotawaringin Timur
  80
  77
157
Jumlah
135
135
270
D.     Instrumen/Alat Penggali Data
Alat penggali data menggunakan: (1) kuesioner; (2) wawancara terarah. Pola jawaban kuisioner untuk menggali data pengetahuan Kespro/Seksual menggunakan skala Guttman, sedangkan untuk menggali data sikap dan perilaku seksual dan proteksi HIV menggunakan skala Likkert. Sebelum kuesioner digunakan pada responden terlebih dahulu dilakukan uji coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen. Untuk menguji tingkat validitas instrumen menggunakan analisis factor (factor loading 0,40) dan untuk melihat tingkat reliabilitas instrumen dengan menggunakan metode Cronbach Alpha.
Instrumen dikembangkan berdasarkan lima variabel penelitian yang dipecah lagi menjadi beberapa indikator meliputi:
(1)   Variabel pendidikan dengan indikator: tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTP, tamat SMTP, tidak tamat SMTA, tamat SMTA, tidak tamat PT, dan tamat PT.
(2)   Varibel pengetahuan tentang Kespro/Seksual dengan indikator: konsep kehamilan, IMS,  cara penularan, cara pencegahan, cara pengobatan IMS, konsep HIV-AIDS, cara penularan, cara pencegahan, cara pengobatan HIV-AIDS.
(3)   Variabel sikap dengan indikator: mitos tentang kespro dan seksual, pendapat tentang perilaku kespro dan seksual, pendapat tentang cara mencegah IMS dan HIV, dan sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, stigma dan diskriminasi terhadap Odha.
(4)   Variabel perilaku seks dengan indikator: pengalaman melakukan hubungan seks, waktu melakukan seks pertama, partner melakukan seks pertama, tempat pertama kali melakukan hub seks, frekuensi melakukan seks selama ini, partner hubungan seks selama ini, tempat melakukan hubungan seks selama ini, motivasi melakukan hubungan seks (komersial, kepuasan, dendam).
(5)   Variabel usaha proteksi dari HIV dengan indikator: abstentia, be faithfull, penggunaan kondom, screening IMS, dan VCT.
Dari indikator-indikator tersebut kemudian disusun menjadi butir-butir pernyataan dan pertanyaan dalam bentuk kuesioner.
E.      Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali untuk try out dalam upaya uji validitas dan reliabilitas instrumen kepada 20 responden remaja. Sementara penggalian data kepada sampel sebanyak 270 orang remaja di dua lokasi sampel yakni Palangka Raya dan Kotawaringin Timur dilakukan oleh sejumlah innumerator  sebagai pewawancara dengan menggunakan instrument berbentuk kuesioner.
F.       Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis statistic deskriptif di mana semua indicator yang digali akan dideskripsikan satu persatu dengan bantuan table frekuensi. Sementara untuk menguji hipotesis dilakukan dengan menggunakan pendekatan statisktik inferensial melalui teknik analisis jalur (path analysis).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar